November 25, 2017

BERCERMIN



Sore tadi, cuaca Batam lebih panas dari biasanya, sepanjang hari gerah, keringetan dan lengket. Jadilah mandi sore lebih awal, biar sejuk dan segarrrr. 

Kebiasaan sebelum mandi berdiri di depan cermin, wehhh brengos (kumis) sudah panjang dan sedikit acak adul. Sambil potong brengos tetiba saja kepikiran, untung saja ada cermin, jadi tahu kalo brengosku sudah kepanjangan dan indah dihiasi sedikit uban. Hebat ya penemu cermin. Hebatnya lagi cermin tidak pernah bohong, selalu jujur.

Kalau lah cermin selalu jujur, artinya bisa untuk melihat seperti apa kita, itulah bayangan yang ada di balik cermin. Seandainya saja cermin kehidupan (mawas diri) setegas kaca cermin, beruntunglah kita semua, mudah melihat mana kekurangan kita. Karena sesungguhnya bagaimanapun kebidupan kita, apapun yang kita alami adalah cerminan yang sejujur-jujurnya dari diri kita.

Kenyataannya, ketika ‘bercermin’, mawas, begitu sulit melihat bayangan kita sendiri, begitu sulit melihat dan mengakui kekurangan diri. Seandainya lah ini yang terjadi, sesungguhnya dibutuhkan lebih banyak rendah hati. Sikap batin yang rendah hati ibarat lap dan cairan pembersih kaca. Semprot, lap, lap, lap, dan jreng-jreng, lebih jelas bayangan di balik cermin. 

Sikap batin rendah hati ketika dibumbui dengan sedikit kesadaran dan pemahaman, akan menjadi awal yang baik untuk memperbaiki keadaan. Kesadaran dan pemahaman bahwa beban hidup adalah dosa. Entah itu beban kesedihan, kuatir, sakit hati, kecewa, kewajiban tak terselesaikan, perasaan remuk redam, letih lesu dll, dll. Ya, dengan rendah hati, menyadari itu semua yang terjadi adalah cerminan kita yang sejujurnya.

Dengan begitu maka sesungguhnya yang kita butuhkan adalah pengampunan. Kebutuhan pengampunan adalah kebutuhan paling mendasar bagi setiap manusia. Pengampunan untuk membersihkan hidup kita. Seperti ketika kita habis ngopi, gelas dibiarkan kotor, mungkin sampe berjamur. Jangankan diisi teh atau susu, bahkan buat ngopi lagi pun tidak bisa, bahkan bisa menjadi bibit penyakit. Bersih menjadi syarat kelayakan menerima berkah, dan pengampunan 

adalah kebutuhan.

Bukankan kerena kasihNya penebusan sudah dibayar lunas, tetapi bertobat, dengan rendah hati mengakui kesalahan adalah keniscayaan. Dalam hal ini bercermin perlu dilatih, sampai bisa dengan rendah hati mengakui kesalahan-kesalahan dan mohon pengampunan.

Betul, pengampunan atau penebusan adalah keniscayaan, tetapi memaafkan adalah syaratnya. Menjadilah pemaaf, jalin silaturahmi dengan sesama, jangan ada kebencian di antara kita, sampai tahap bisa mencitai. Menjadilah ikhlas menerima keadaan sampai tahap bisa bersyukur. Seandainya lah belum bisa mencintai dan belum bisa bersyukur, setidaknya jangan membenci dan jangan menyalahkan keadaan. Lantas apa yang mesti kita lakukan?

Untuk memudahkan memahami dan melangkah, jadikan hidup kita sebagai sebuah devosi, sebuah pengabdian, wujudkan dalam bentuk bakti, penyerahan diri dan setia. Bukan devosi sebagai ritul doa. Jika ritual devosi dijalani dengan sungguh-sungguh maksimal hanya bisa merasakan kesengsaraannya. Dan ketika ritual dijalani dengan kontemplasi, bisa menyentuh hati. Tetapi yang terpenting ketika devosi bisa terwujud secara empiris, bukan sekeder ritual tetapi nyata dalam kehidupan keseharian.

Dan ketikan hidup keseharian adalah sebuah devosi maka hidup kita akan menjadi pengabdian panjang kepadaNya selama hayat masih dikandung bandan, dan terdiri dari pengabdian-pengabdian pendek yang berseri maupun yang paralel, berkelanjutan dengan setia berbakti kepadaNya.

Menyadari bisa sebagai awal, bercermin, caritahu apa yang terjadi, dan jadikan ketetapan. Ketika sudah ditetapkan, entah itu keinginan, cita-cita, menyelesaikan kewajiban, mencintai keluarga, pekerjaan, atau apapun, bahkan ketika keketapan itu adalah hukuman mati. Jalani pengabdian dengan setia sampai akhir.

Keseharian, misal bersih-bersih rumah, jadikan itu wujud bakti kepadaNya. Berdamai dengan keluarga, bekerja, dan semua aktifitas keseharian jalani dengan ketaatan atau setia dan jadikan bakti kepadaNya.

Dan ketika datang rintangan, ketika terjatuh, jangan kuatir. Ketika keseharianmu adalah wujud bakti maka akan datang juga pertolongan, mungkin dari keluarga, teman, atau bahkan orang yang tidak kita kenal. Mungkin bisa saja perotolongan membantu memikul beban kita, atau bahkan sekedar menyeka keringat kita, tetapi percayalah itu yang akan terjadi. Ketika jatuh inilah, kerendahan hati dibutuhkan untuk memohon pengampunan. Dan lanjutkan pengabdian.

Ketika terjatuh lagi, mohonlah pengampunan lagi, sembari bercermin apakah kita sudah menjadi pemaaf. Begitu seterusnya, tetaplah setia.

Satu devosi pendek akan berujung pada puncaknya ketika satu ketetapan digenapi atau mencapai kecukupannya. Dan itu hanya terjadi ketika kita sudah bisa menemukan penyerahan diri, kepasrahan kepadaNya atas penyelenggaran seluruh hidup keseharian kita. Ya seluruhnya kita serahkan, pekerjaan, keluarga, semua permasalahan, jiwa dan raga.

Satu contoh kecil patut dicoba. Menjelang tidur, rileks, siapkan hati, “……kuserahkan nyawaku kepadaMu ….”. Rasakan sensasinya, dan pergilah tidur. Esok hari, ketika bangun, kembali rasakan sensasinya, menjadi seperti terlahir kembali. 

Dalam keseharian, rasakan sensasi kerahimanNya. Kalau lah nyawapun sudah kau serahkan, beban terasa sudah diangkat, nyata kehadiranNya dalam keseharian.

Sungguh, ini tidak pandang rupa, sesiapa yang menjadikan hidupnya sebuah pengabdian dan penyerahan diri akan tersedia cukup solusi, semakin indah hidupnya, semakin happy kesehariannya.

Saatnya tiba, kebiasaan bercermin bisa menjadikan kita menyadari apa yang sedang terjadi (ya, kadang hanya ‘menyadari’ yang dibutuhkan, sebelum terlambat) dan membawa perubahan-perubahan. Ya gitu deh.

No comments:

Post a Comment

bebas berkomentar, berkomentar bebas ....