March 20, 2008

SIMPANG JAM

Tempat ini bernama Simpang Jam, konon karena pada perempatan jalan ini terdapat tugu jam. Ada benarnya juga, karena pada beberapa tempat lain di Batam juga dinamakan sesuai benda apa yang dulunya ada. Misalnya Simpang Dam, Simpang Franky dan Simpang Lippo. Begitulah Batam yang kharakternya serba instant. Dibandingkan dengan simpang-simpang yang lain, Simpang Jam dapat dikatakan sebagai simpang yang paling ramai. Simpang ini merupakan perempatan utama yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan di kota Batam. Nagoya – Airport dan Sekupang – Batam Centre.

Simpang jam adalah suatu landscape bukan suatu bangunan. Elemen landscape yang ada berupa shoftscape (tanaman) dan hardscape (trotoar, papan iklan, pagar dan saluran). Elemen standard, tidak ada yang spesifik. Untuk lebih detailnya, yok amati saja!

Kalau lagi ditengah terik matahari, anda pilih teduh dibawah pohon yang rindang atau melihat pot pot bunga? Tentu akan pilih dibawah pohon yang rindang. Itulah pilihan yang mestinya direspon supaya pengguna jalan merasa nyaman saat menunggu lampu merah menjadi hijau. Dulu sepanjang median sampai posisi dekat ujung lampu sudah tumbuh pohon yang rindang. Suasana terlihat hijau dan terik sinar matahari tidak terasa menyengat. Asap dan suara kendaraan bermotor yang terakumulasi diperempatan juga lesap dalam rindangnya pohon. Sayang, sekarang pohon-pohonnya telah ditebang dan diganti dengan pot pot bunga yang bentuknya seperti gelas koktail di hotel. Menarikkah? Tentu, asalkan penempatannya benar. Pot-pot bunga yang mestinya cocok untuk elemen landscape bangunan tetapi ditempatkan dalam skala kota sehingga menjadi tidak fungsional. Pot-pot bunga hanya memberikan efek estetika saja, itupun tidak sebanding dengan mahalnya perawatan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan tuntutan suasana teduh dan pengurangan polusi udara.

Elemen lain yang menonjol tetapi kurang ditata adalah papan iklan. Coba hitung berapa jumlah papan iklannya, anda tentu akan dapatkan lebih dari sepuluh jenis. Suatu jumlah yang justru merusak estetika

lingkungan. Penempatannya yang melingkari Simpang Jam akan membentuk suatu silinder (tong) raksasa. Tong ini yang kemudian berpotensi menimbulkan resonansi suara dan turbulensi panas, sehingga wajar kalau suasana bertambah gersang.

Kemudian perhatikan elemen hardscape lain seperti pagar (BRC) dan trotoar, anda tentu akan setuju kalau dibilang sekedarnya saja atau selera estetiknya rendah. Maaf, pagarnya tak lebih baik dari pagar hutan sementara trotoarnya tidak berpola dan kotor.

Persoalan lain adalah masalah drainase yang juga merupakan elemen harscape. Tak perlu melihat estetika drainasenya karena sebagai tempat yang katanya bebas banjir saja sampai sekarang masih belum terwujud. Saat hujan lebat selalu disinggahi banjir air, sampai-sampai ada yang bilang jangan lewat simpang banjir sana. Simpang yang dimaksud ya Simpang Jam. Seiring berjalannya waktu bila banjir air tak kunjung teratasi, bisa-bisa berganti nama menjadi Simpang Banjir karena ada benda yang namanya air, hehehe.

Akhirnya, kalau ada yang meminta pendapat bagaimana menatanya, saya akan mengusulkan beberapa hal secara garis besar. Pertama bersihkan hardscape yang tidak berguna seperti aspal yang tidak terpakai, hijaukan pada semua sisi dengan pohon peneduh berdaun lebar sampai terbentuk hutan-hutan kecil, sisipi pot-pot bunga dengan pohon, kecilkan papan iklan dengan beberapa desain saja, buat bentuk pagar dan trotoar semenarik mungkin, tambahkan street furniture, perbesar saluran distribusi yang menuju saluran induk dan tinggikan elevasi jalan.

Yang tidak kalah penting, ditempat sesetrategis ini mestinya ada benda tertentu (tidak sekedar tugu jam) yang bentuknya monumental sebagai land mark nya kota Batam. Bentuknya terserah para pakar atau bisa juga dicari lewat sayembara. Tetapi kalau ada yang suruh memilih, maaf ya, saya akan pilih schulpture Elang (agresif dan waspada) dibandingkan dengan Kancil (cerdik) walaupun Emas. Arif, arsitek di Batam.

TEMPAT W.T.P.


Anda tentu menjadi kecewa, WTP yang lazimnya singkatan dari Water Treatment Plan, kemudian saya ganti dengan Wisata Tanjung Pinggir. Itu lho tempat wisata di Sekupang yang kalau kita kesana kita bisa melihat siluete gedung gedung pencakarlangitnya Singapura. Baiknya kita kesana saja yok!

Bersih tapi panas atau kotor tetapi teduh, itulah pilihan sekiranya kita ingin menikmati panorama Singapura dari tepi pantai WTP. Pilihan yang dilematis hanya sekedar untuk duduk. Tetapi tak apa disana masih banyak yang bisa dinikmati atau digali.

WTP, disana tempatnya masih alami, alam yang terbangun (artificial) baru berupa turab seadanya yang meliuk disebagian pantai. Elemen alamnya lengkap, ada laut/rawa (air), karang (batu), daratan (tanah), bakau/pohon (kayu), angin sejuk (udara) serta panas matahari (api). Lantas apa uniknya? Uniknya semua elemen bisa bercengkerama dengan manusia, aktif dan bisa dinikmati. Airnya bisa untuk berenang, batunya bisa untuk istirahat, tanahnya fleksible digunakan berbagai aktifitas, pohon akar-akarnya bisa untuk duduk seperti di shelter dll. Adakah tempat lain di Batam yang sebanding dengan WTP?

WTP, tempatnya terpencil axsesnya hanya satu sehingga mudah mengarahkan arus masuk dan mengidentifikasikan pengunjung tanpa harus membuat pagar lokasi. Privacy obyek sangat terjaga, obyek tak dapat dinikmati kalau tidak masuk melalui pintu gerbang.

WTP, disana saat ini kita bisa memancing mencari ubur-ubur, bisa berenang, bisa santai diatas karang atau pohon bakau, pemandangannya komplit ada laut dengan kapalnya yang banyak, ada hutan hijau dan ada hutan beton dari jauh, bisa jogging, bisa leluasa membawa keluarga dan ehem bisa enak untuk pacaran.

WTP, disana telah didatangi banyak pengunjung. Ada yang sifatnya individu, keluarga dan kelompok besar dalam paket wisata. Ada anak anak, remaja dan orang tua. Ada bule dan ada pribumi. Tempat wisata yang fleksible untuk semua jenis dan umur.

WTP, disana kedepan potensi untuk dikembangkan atraksi-atraksi wisata tambahan seperti becak air, sangkar burung, shelter-shelter, seating group, play ground dan open stage.

WTP, disana kalau diolah akan menumbuhkan industri wisata yang sangat potensial, sektor riil akan berkembang dan kas pemerintah juga akan bertambah. Seperti tumbuhnya aktifitas sewa menyewa, jual beli dan home industri. Kas pemerintah juga akan bertambah dari retribusi karcis masuk, karcis obyek, sewa tempat, iklan dll.

Sampai disini tentunya anda akan bertanya ke saya, kalau begitu apakah bapak sering berkunjung kesana? Tidak juga!. Lho, kalau begitu berarti tulisan bapak bo’ong donk? Tidak juga!. Lantas kenapa?. Saya tidak sering kesana karena kapok, mestinya saat wisata inginnya santai tapi malah ribet.yang didapat. Bayangkan saja saat mau ke WTP saya harus bawa pampers untuk anak atau kantong plastik untuk buang air, bawa gallon air bersih untuk bilas atau sekedar cuci tangan, bawa tikar untuk duduk, bawa payung supaya teduh, bawa kardus untuk sampah, dan bawa makanan, belum lagi ganti baju basah dalam mobil. Keribetan masih terus berlanjut sampai ke cucian mobil.

Anda tentu akan mengalami keribetan serupa, karena disana tidak ada MCK (mandi, cuci, kakus), tidak tersedia tempat duduk yang bersih, tidak tersedia shelter, tidak tersedia warung yang layak, tidak tersedia tempat sampah dan tidak tersedia perkerasan untuk tempat parkir, dan banyak lainnya yang tidak tersedia untuk kenyamanan pengunjung. Akhirnya saya bilang pantas untuk retribusi yang hanya lima ribu rupiah saja. Sampai disini saja, lain kesempatan kita berikan ide pada yang berwenang sekiranya diperlukan. Arif, arsitek di Batam

SBPMB BUKAN SERTIFIKAT IMB


Alkisah, disebuah kota modern yang peradabannya telah maju, tinggalah seseorang yang bernama siJAG. Di komplek dimana tinggal, siJAG dikenal lugu sehingga sering diakali orang. Akhir kisah ini, karena suatu hal siJAG berurusan dengan pengadilan. Aneh! Yang diakali malah yang masuk pengadilan. Suatu kisah yang dirancang untuk memperjelas peristiwa nyata. Yok disimak saja.

Pada suatu hari siJAG pergi ke sebuah show room mobil, disengaja agak siang, karena pengalaman sebelumnya datang pagi-pagi tidak ada orangnya. Kedatangan kali ini adalah untuk suatu urusan yang sebelumnya belum tuntas. Yaitu mengambil BPKB. Pada kedatangan sebelumnya siJAG ingin membawa pulang mobilnya. Namun ternyata belum diperbolehkan karena mobilnya sedang disalonkan.

Pada saat masuk show room, siJAG melihat mobilnya terpampang paling depan. SiJAG sangat senang karena mobilnya sangat bersih. “Bagaimana pak, apakah lebih mengkilap dari yang kemarin?” begitulah petugas menyambutnya seraya menyerahkan BPKB. “Wah iya, terima kasih, terima kasih!” jawab siJAG sambil meneliti kertas yang ada ditangannya. Di bagian atas ada kata Kwitansi, kemudian dibawahnya tertulis kalimat “untuk pembayaran salon mobil”. Karena tidak tahu BPKB itu seperti apa, siJAG terus memasukannya kedalam tas. Sesaat kemudian siJAG telah terlihat dijalan raya untuk pulang.

Waktu terus berjalan. Karena butuh uang, siJAG pergi ke Bank. Singkat cerita surat yang selama ini dianggap BPKB rupanya tidak bisa digunakan sebagai agunan. Barangkali karena lagi tidak bernasib baik, dalam perjalanan menuju show room untuk komplain, siJAG terkena tilang. Lagi-lagi sama, masalah BPKB. Urusan ini akhirnya membawa siJAG ke pengadilan. Ada pelajaran apakah dari alkisah diatas?

Peristiwa ditolak di Bank dan terkena tilang, membuka mata siJAG bahwa kwitansi salon mobil tidak bisa menggantikan posisi BPKB dimata hukum. Alasan siJAG bahwa mobil telah menjadi miliknya karena sudah dibeli dari show room ditetap tidak dapat diterima.

Artinya bahwa BPKB adalah sertifikat yang melekat untuk mobil, tidak bisa diganti dengan yang lain. Contoh serupa adalah pengemudi yang terkena tilang, kemudian beralasan sudah mahir menyetir, tetap saja melanggar hukum bila tidak mempunyai SIM. Artinya SIM adalah sertifikat yang melekat untuk pengemudi.

Bagi siJAG, peristiwa diatas adalah pelajaran berharga dan tidak ingin terulang dalam lain urusan. Rencana untuk mengurus pemutihan IMB pun akhirnya diurungkannya, karena yang dia dengar hasilnya bukan setifikat IMB tetapi SBPMB (Surat Bukti Pelaksanaan Membangun Bangunan). SiJAG meyakini bahwa sertifikat yang melekat pada bangunan tidak lain adalah IMB dan tidak bisa diganti dengan SBPMB. Bagi SiJAG status SBPMB terhadap bangunan tak ubahnya seperti kwitansi salon terhadap mobilnya

SiJAG membayangkan berapa banyak yang akan bernasib seperti dirinya, apabila yang didengar adalah benar. Adanya alasan buat apa IMB karena sudah membangun, tak ubahnya seperti buat apa SIM karena sudah mahir mengemudi atau buat apa sertifikat tanah karena sudah ditempati, sama juga buat apa BPKB karena mobil sudah dibeli dari show room. Wacana siJAG yang menarik untuk dikaji lebih lanjut supaya tidak menjadikan polemik dalam masyarakat.

Program pemutihan IMB adalah terobosan (proaktif) untuk mempermudah masyarakat mendapatkan IMB bagi yang belum memiliki atau bagi yang ingin merevisi karena bangunannya telah berubah. Namun demikian, kiranya perlu mempertimbangkan keterkaitan perijinan lain, seperti Fatwa Planologi, Bapeko/Bapedalda dll. Melewatkan koordinasi interdepartemen akan berimplikasi pada aspek hukum yang sangat luas lho. **** Arif, arsitek di Batam

UNTUK APA KDB - KLB

Koefisien Dasar Bangunan atau disingkat KDB adalah angka perbandingan (prosentase) luas lantai dasar bangunan terhadap luas lahan dimana bangunan tersebut direncanakan. Dalam pengertian yang lebih mudah adalah batasan luas lahan yang diperbolehkan untuk dibangun. Sedangkan Koefisian Lantai Bangunan (KLB) adalah prosentase jumlah luas lantai bertingkat terhadap luas lantai dasar. Angka angka KDB dan KLB berbeda-beda tergantung wilayah dan peruntukan lahannya. Secara terperinci telah ditentukan dalam Fatwa Planologi.

Tujuan ditentukan KDB supaya dalam lahan terbangun tetap terjaga bidang alami. Tidak terjaganya bidang alami akan menjadikan berbagai permasalahan lingkungan seperti suhu panas, erosi, kualitas air menurun dan sumpek.

Kalau mau dikaitkan lagi, pelanggaran KDB juga memberikan kontribusi adanya banjir. Coba Anda hitung saja, semisal ada 100.000 unit rumah telah menambah luas 18m2 untuk r. tidur dan dapur maka luas bidang alami yang hilang adalah 1.800.000m2 (180ha). Berapa debit air yang mestinya meresap ketanah tetapi kemudian mengalir begitu saja?

Selain berperan sebagai penyeimbang lingkungan, KDB dan KLB dapat pula diperankan sebagai sarana audit terhadap retribusi IMB. Caranya cukup dengan membandingkan antara luasan KDB – KLB Fatwa Planologi dengan luasan yang terbayar dalam retribusi IMB, maka akan diketahui bila terjadi peresapan lain diluar kas Pemerintah. Bila peran ini kemudian ada sutradara yang mengaktifkan maka bisa-bisa akan menggetarkan para pemainnya !

Sekarang mari kita lihat sisi lain, yaitu adanya Tim Pemutihan IMB (Pemko Batam dengan Ikatan Arsitek Indonesia Batam) yang kemudian mengambil peran dalam perhitungan KDB-KLB. Adakah biasnya? Supaya tahu, yok kita keluyuran saja !

Selama ini, KDB dan KLB yang ada dalam Fatwa Planologi adalah dasar untuk perhitungan retribusi IMB. Disini berarti Fatwa Planologi dengan KDB dan KLBnya berstatus sebagai konstanta aturan hukum pada proses IMB.

Nah sekarang coba urus pemutihan IMB bangunan anda, apakah anda diberikan saran-saran penataan oleh Tim Pemutihan IMB atau bangunan anda sekedar dicatat luasnya? Dengar-dengar anda cukup menyelesaikan pemutihan IMB dengan membayar retribusi sesuai luas bangunannya atau membayar denda bila ada pelanggarannya. Oleh karenanya kalau boleh dikata, pemutihan IMB titik beratnya adalah pada retribusi.

Kalau memang perhitungan luas untuk retribusi dilakukan oleh Tim Pemutihan, apakah berarti konstanta aturan hukum telah berubah?. Yaitu pindah tangan dari Fatwa Planologi ke Tim Pemutihan? Lantas kapan berubahnya? Atau barangkali berakibat sebaliknya, produk pemutihan IMB tidak berkekuatan hukum? Supaya tak repot, mintakan pendapat pada pakar hukum saja.

Bias yang lain, cukup dicatat saja. Yang pertama, bagaimana bila hasil pemutihan IMB berupa SBPMB (Surat Bukti Pelaksanaan Membangun Bangunan)?. Bagaimana bila persyaratan gambar diganti foto? Bagaimana bila pelanggaran luas melebihi KDB maksimal? Bagaimana bila belum ada pecah PLnya? Dan bagaimana mekanisme kontrol bila perhitungan luas untuk retribusi dilakukan oleh pihak ke tiga?. Dll.

Memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan kota, memberikan ide-ide untuk kota kedepan, mengkaji perda-perda terkait tentang kota dan pembelajaran masyarakat terhadap berbagai perijinan adalah pengabdian tulen sebagai arsitek. Maaf cukup disini saja, lain waktu kita keluyuran lagi. ****Arif, arsitek di Batam

BEKERJA ON THE SPOT

BEKERJA ON THE SPOT

Peneliti bukan, konglomerat bukan, pinggiran (mohon maaf tukang ojek) juga bukan!, mereka berpendidikan strata, berpikir logis, berbicara bebas tanpa muatan kepentingan dan jauh dari politik. Omongannya spontan dari lubuk hati yang jernih, nyata adanya walau tersaji tanpa angka-angka. Mereka ngomong tanpa landasan teory ilmiah karena mereka sudah lupa. Bagi mereka sepertinya tak diambil pusing mau didengar syukur tak didengar juga tak apa-apa toh tak keluar modal. Mereka saya namai kelompok tanggung (KT) yang lagi ongkang-ongkang di suatu kedai kopi murahan.

Di sudut ruang dengan satu gelas kopi seharga dua ribu rupiah, saya mengangguk-angguk mendengarkan KT sedang membicarakan kondisi kota kita belakangan ini. Namun demikian saya tetap khidmat mengikutinya karena saya tidak pernah melihat siapa yang ngomong tetapi apa yang diomongkannya.

Suaranya terdengar datar setengah bercanda “Lihat dimana-mana jalan diperbaiki, dimana-mana saluran diperlancar dan di sudut-sudut kota dibuat taman!. Sebenarnya bagaimana ini, benah-benah dulu baru dapat adhipura atau dapat adhipura baru benah-benah? He he he” ketawanya terkekeh melihat kawannya melongo mendengar pertanyaannya. Saya menjadi ikut tersenyum, menurut saya tidak ada salahnya dapat adhipura dulu baru berbenah-benah, yang penting pembangunan tidak stagnan, toh momennya juga tepat untuk menyambut FTZ, lagi pula tak hanya investor saja tetapi siapapun akan senang kalau kemudian melihat kota ini terlihat bersih. Tetapi apakah begitu jawabnya?, ternyata bukan itu yang dimaksud si penanya.

“Benah-benah setelah dapat adhipura atau bekerja setelah ada masalah adalah hal biasa dan mudah kalau ada dananya. Melebarkan saluran setelah ada banjir, memperbaiki jalan setelah ada lobang, menambah kapasitas daya setelah listrik byar pet atau mengerjakan persoalan setelah ada di meja adalah contoh bekerja setelah ada masalah. Maaf, cara kerja yang cerdas barangkali tidaklah seperti itu, tetapi bekerja berdasarkan rencana atau program-program. Disinilah kemudian akan terlihat sejauh mana peran yang dimainkan perencanaan dari instansi-instansi terkait membuat program, iya enggak?” si penanya berbicara lagi. “Stop, jangan dilanjut, kamu ini aneh bertanya dijawab sendiri kemudian bertanya lagi, memangnya kamu tahu beliau yang disana tidak memikirkan seperti itu? Kalau cuma ngomong siapapun bisa!” potong rekannya mulai enggak suka dengan lagak kawannya yang mulai keminter.

Masih di sudut ruang, saya menjadi tahu bahwa KT ini punya cara sederhana memetakan persoalan fital kota (infrastruktur) termasuk bagaimana cara menilai suatu kerja sehingga dapat dengan mudah dipahami oleh semua orang. Menurut saya memang benar bila bekerja berdasarkan program-program (prioritas dan jangka panjang), maka penyelesaian pekerjaan akan bisa tuntas (on end). Tetapi bila cara kerjanya sepotong-sepotong (on the spot) dan tidak berdasarkan pada angka prediksi atau bekerja diluar kerangka program, maka hanya akan menyelesaikan masalah di tempat saja (hit the mark). Masalah satu selesai di suatu tempat tetapi masalah baru akan muncul di tempat lain, masalah satu selesai hari ini tetapi masalah lain akan muncul dikemudian hari. Cara kerja seperti ini jelas akan selalu terlambat.

Kembalian tiga ribu rupiah sudah ditangan dan sebelum pergi saya sodorkan pada KT secarik kertas bertuliskan “Tidak cukup dengan hanya program-program saja tetapi dibutuhkan planning scheme untuk menyelesaikan persoalan infrastruktur kota”. Maksud saya ingin mengingatkan KT bahwa program-program hanya cukup untuk penyelesaian internal problem saja, sedangkan untuk bisa tuntas dan efisien masih perlu adanya analisa interkorelasi supaya penanganan infrastruktur kota yang ditangani banyak instansi bisa sejalan. Adanya bongkar pasang infrastruktur akibat pembangunan infrastruktur lain seperti jalan rusak akibat pebangunan gorong-gorong atau akibat galian pipa adalah contoh tidak adanya planning scheme. ***Arif, arsitek di Batam

March 18, 2008

SHIPYARD TANPA DERMAGA


Pelangi – pelangi alangkah indahnya, merah kuning hijau dilangit yang biru …. Benar ! Warna-warna tersebut kalau tersusun dilangit namanya pelangi. Kalau tersusun dalam gambar peta namanya land-use atau peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sedangkan warna dalam sampul Fatwa Planologi menunjukkan peruntukan lahannya.

Lahan di Kota Kita dibedakan dalam beberapa jenis peruntukan seperti perumahan (kuning), industri (coklat), jasa (merah), pariwisata dll termasuk peruntukan shipyard. Lahan shipyard menurut kawan saya yang calo tanah, merupakan lahan yang primadona dalam bisnis mereka. Banyak investor berebut untuk mendapatkannya. Karenanya Kota Kita sekarang ini telah menjadi produsen kapal / tongkang terbesar. Hal ini menunjukan arah pembangunan telah sejalan dengan sebutan Batam sebagai Daerah Industri Pulau Batam bukan Daerah Ruko Pulau Batam.

Namun dibalik cerita hebat tersebut, ada peristiwa yang membuat muka saya merah. Merah bukan karena marah tetapi malu karena tidak bisa menjawab. Belum lama ini saya mendapat pertanyaan dari investor yang juga clien baik saya. Pertanyaannya adalah mengapa dalam site plan shipyard tidak boleh ada dermaga? Apakah memang dari dulu peraturannya demikian?. Tolong mintakan peraturannya! Coba logikanya bagaimana, apakah shipyard bisa beroperasi tanpa ada dermaga?

Salahkah investor menanyakan demikian? Tidak. Karena pada saat akan membangun shipyard, investor mau tidak mau akan membuat dermaga supaya kapal (ship) dapat bersandar dengan baik. Kondisi ini akan menyudutkan investor melakukan pelanggaran. Pelanggaranya berupa membangun suatu fasilitas (dermaga) dengan status liar. Lho kok? Lha iya karena fasilitas tersebut tidak tercantum dalam Fatwa Planologi.

Dermaga menurut kamus adalah tembok ditepi laut untuk pangkalan, dalam bahasa bule tertulis dock. Pengertian dermaga

berbeda jauh dengan apa yang dimaksud Bandar / Pelabuhan (seaport). Dermaga memang selalu ada pada setiap Bandar, namun demikian apakah setiap dermaga berfungsi Bandar?.

Kalau kemudian ada kekawatiran dermaga berubah menjadi pelabuhan, itu adalah suatu kasus. Peristiwa ini sifatnya kasuistik yang tidak bisa dijadikan dasar untuk menggeneralisasikan penerapan peraturan berikutnya. Penghapusan dermaga dalam gambar site plan shipyard, tak ubahnya seperti tidak dibolehkanya ada parkir di ruko karena kuatir timbul kios liar. Kebijakan yang demikian bisa disebut seleratif bila tidak ada aturan yang mendasarinya.

Kebijakan tertentu bisa saja dikeluarkan namun demikian perspektifnya adalah untuk kepentingan bersama dan mengindahkan rasa berkeadilan. Melibatkan masyarakat (pemohon) dalam rapat koordinasi akan menjembatani kesan adanya penerapan peraturan yang sepihak.

Lain lagi, bila aturan-aturan teknis telah ada, mengapa tidak disampaikan secara terbuka kepada masyarakat? Banyak Gambar Fatwa Planologi ditolak karena permasalahan ini, yang akibatnya waktu menjadi molor. Jadi molornya permohonan Fatwa Planologi bukan karena persyaratan-persyaratan teknis yang tidak lengkap. Bedakan antara aturan-aturan teknis (aturan-aturan yang harus dituangkan dalam gambar) dengan persyaratan-persyaratan teknis (gambar-gambar, table dll).

Kemudian bila aturan-aturan Fatwa Planologi tidak sesuai dengan RTRW, kira kira masyarakat harus memakai yang mana?

Dari pada ruwet, untuk kedepan diharapkan ada aturan-aturan yang jelas dan transparan. Membuat peraturan baru supaya sejalan dengan zamannya adalah sah-sah saja bila dilakukan untuk kepentingan yang lebih baik. Pada era Kawasan Ekonomi Khusus saat ini adalah waktu yang tepat melakukannya. …Pelangi pelangi ciptaan Tuhan adalah fatwa yang tak pernah berubah

Gunjonar, arsitek di Batam.

SALURAN BERBICARA

Mohon maaf kalau dalam kata banjir saya tambahkan kata air sehingga menjadi banjir air. Mengapa? Karena selain banjir air terdapat banjir-banjir yang lain seperti banjir hadiah, banjir manusia dll. Namun demikian, semua banjir mengandung pengertian sama yaitu keadaan yang melebihi kondisi normal atau melebihi takaran (over) dalam waktu terbatas.

Di Kota Kita ini yang namanya banjir air sudah biasa dan biasanya yang dipersalahkan adalah salurannya (wadahnya). Apakah demikian?. Coba, kalau ada banjir manusia saat ada konser, apakah yang salah gedung pertunjukannya? Demikian pula kalau ada banjir saat hujan, apakah yang salah salurannya? Menurut pendapat saya, saluran tidak mempunyai salah apa-apa.

Kalau bisa berbicara, saluran tentu akan membantah seperti ini; Enak saja menyalahkan saya!, Saat berupa gambar saja, saya sudah lelah karena diperiksa berulang-ulang. Di Fatwa Planologi, di Ijin Pematangan Lahan (Cut Fill) dan di IMB masing masing memeriksa saya. Bahkan juga dicross check dengan peninjauan lapangan segala. Saya besarnya seperti ini hanya mengikuti saja, saya bisa dibuat sesuai gambar juga bisa dikecilkan. Saya menjadi lebih kecil dari ukuran yang sesungguhnya tetapi dibilang sudah benar oleh pengawas yang tidak jujur, juga tidak bisa protes. Saya jebol disana sini karena semennya dikurangi juga hanya bisa menerima saja.

Adakalanya memang saya merasa nyaman kalau masih berada dalam suatu lokasi. Karena saya masih mampu menampung air dan dialirkan dengan baik. Saya sering merasa kesal justru setelah keluar lokasi. Saya dibuat bingung mau membawa air kemana sementara badan saya kurang dipikirkan mampu atau tidak untuk menampung air dari lokasi-lokasi yang lain. Saya sering marah karena saat banjir air saya diperbaiki, namun efek perbaikannya menimpa kawan saya. Kasihan kawan saya menerima banjir air dari tempat saya.

Saya ini benda mati, tolong salahkan yang merencana (planning), yang membuat (processing) dan yang mengawasi (controlling) !

Tuan saluran tak perlu minta tolong untuk menyalahkan manusia, toh Tuan tidak sendirian. Tuan masih punya kawan karena Tuan merupakan bagian dari system drainase. Nah supaya Tuan saluran tidak kecil hati, simak ya posisi Tuan dalam system drainase. Tetapi lagi lagi Tuan tidak boleh protes.

Tidak semua tempat di Batam terkena banjir air kerena bentuk topografinya yang berbukit bukit. Titik titik banjir air akan mudah diketahui pada saat ada hujan lebat. Pada titik titik banjir air yang belum dapat ditanggulangi disebut daerah langganan banjir air. Tak salah disebut demikian karena sering disinggahi air. Karena hanya singgah maka sifatnya sementara. Tak ubahnya seperti pesawat yang transit, air juga akan melanjutkan perjalanan. Perjalanan terakhir yaitu menuju ke laut.

Secara gampang, system drainase adalah rangkaian yang menerus dari suatu wadah (saluran) yang berbeda beda ukurannya, semakin kebawah semakin besar dan dapat mengalirkan air secara lancar sampai ke tujuan akhir yang diinginkan. Disini ada wadah, ada aliran dan ada tujuan akhir. Wadah cukup, tetapi aliran tersendat tetap akan banjir air, demikian pula wadah cukup, aliran lancar tetapi tujuannya tidak kelaut juga akan banjir air.

Penyelesaian / penanggulangan banjir air pada titik-titik banjir (on the spot) sifatnya selesai ditempat yang bermasalah saja (hit the mark). Banjir air akan pindah ketempat yang lain demikian seterusnya, persis seperti gali lubang tutup lubang. Penyelesaian banjir air yang dimulai dari saluran kecil ke yang besar juga akan menambah banjir air kemana-mana. Supaya tuntas (on end), perbaikan saluran dapat dimulai dari ujung saluran dengan tahapan dari arah yang berlawanan dengan aliran air (dimulai dari laut ke lokasi titik banjir air).

Arif, arsitek di Batam

JEMBATAN SATU

“Kira-kira 25 km lah dari sini, coba nanti kita nolkan speedometer nya supaya ketahuan jarak pastinya ! Oke, kalua begitu ayo kita berangkat saja !”. Klik terdengar suara speedometer dinolkan dan CRV nya mulai dijalankan.Tak ada yang mencolok dari penampilan keduanya, hanya kamera digital yang melilit dipundaknya yang terlihat lebih menonjol dari asesoris lainya. Kesahajaannya mengisyaratkan bahwa mereka adalah kaum intelek yang telah mapan berfikirnya. Siang itu mereka begitu ceria sedang menuju Jembatan Satu. Pilihan kesana tidak semata-mata berekreasi akan tetapi ada sesuatu yang dipikirkannya. Apa itu ya?

“Yang ini apa yang itu ya ?, sepertinya jalur yang ini yang pertama dibuat”. Mereka mengingat-ingat karena sudah sekian lama tidak melewati jalur Muka Kuning - Batu Aji yang sekarang sudah menjadi 2 jalur. “Lihat yang sana juga, dulunya penuh ruli sekarang telah menjadi pertokoan”. Begitulah sepenggal perbincangan mereka yang memperlihatkan rasa kagum terhadap pesatnya pembangunan di Batam.

Kira-kira pada km 20 mereka mulai bebincang lagi. “Lihat kanan kiri tanah sudah diratakan dan sebentar lagi pembangunan akan menyambung ke sana!”, mereka memprediksi, tangannya menunjuk kearah jembatan satu yang sudah mulai kelihatan.

“Tolong siapkan kamera, jepret saja situasi disekeliling jembatan !” pintanya. Temannya yang memegang kamera menoleh ingin memastikan apa tidak salah yang difoto malah bukan jembatannya. “Iya jepret saja !” menegaskan. Mobilnya dipelankan dan kamera telah membidik beberapa tempat. “Sekarang kita lanjutkan & nanti berhenti ditengah jembatan sana !”. Belum juga turun dari mobil, mereka sudah diperingatkan untuk tidak parkir ditengah jembatan. Akhirnya mereka memarkir mobil dibahu jalan diujung jembatan. “Tak heran begitulah orang kita, melarang berhenti tetapi tidak menyediakan tempat solusinya !”

“Tak apa, dari sini juga tak kalah bagus” merekapun lantas terdiam sepertinya mulai merenungi apa yang ada didepannya .

Sungguh luar biasa ! Wajib bersyukur, Allah telah memberii alam yang begini menakjubkan dan patut pula dibanggakan suatu karya cipta manusia yang begitu megah menjelma menjadi kesatuan obyek yang sangat menawan.

Jembatan satu … ternyata telah membawa geliat pembangunan menjadi semakin cepat, terciptanya kutub perkembangan baru, terbukanya isolasi kesenjangan pulau-pulau dan tumbuhnya berbagai industri pariwisata. Suatu proyek jangka panjang yang baru sekarang bisa dipahami masyrakat. Sungguh cerdas penggagasnya ! Angkat topi pada Otorita Batam, dengan kerja kerasnya dan dengan program-programnya Pulau Batam bisa semaju ini. “Pak, ini jagung bakarnya” suara dari salah satu kios membuyarkan renungannya.

“Jagung ini dan foto-foto tadi akan menjadi bukti bagi kretifitas generasi (instansi) penerusnya. Kita tunggu beberapa tahun kedepan apakah disini masih seperti foto ini ataukah sudah berubah menjadi lebih baik”. Kawannya menjadi paham kenapa yang difoto bukan jembatannya.

Sesaat kemudian mereka telah kembali ke atas mobil untuk pulang dan benar speedometernya menunjukan angka 25. “Cukup penat perjalanan sejauh ini, dan mestinya tak perlu buru-buru kalau disini tersedia tempat makan yang nyaman, hem… alam yang begitu indah, jembatan yang megah, prasaran yang telah lengkap, tempat yang sudah cukup dikenal dan telah banyak dikunjungi dibiarkan begitu saja dari tahun ke tahun …sungguh sayang suatu potensi industri wisata yang dibiarkan begitu saja !. Ibarat nasi tinggal dimakan, disentuh saja belum. Mereka berdua menggelengkan kepala lantas tancap gas.

Tukang seloroh menunggu kali kali ada investor yang mau order konsep untuk mengembangkannya.

Arif, arsitek di Batam

A D H I P U R A VS LOMBA DESA


Rame-rame adhipura ditargetkan Kota Kita, untuk merubah status terkotor menjadi terbersih. Gotong royong bersih-bersih lingkungan disetiap RT digalakan. Tak ketinggalan spanduk Batam Bersih terpampang dimana-mana. Salut dan perlu didukung. Memang suatu penghargaan adhipura terhadap status kota adalah penting. Ada pula yang mengartikan tidak dapat diukur dengan materi.

Namun demikian, maaf yang namanya rame-rame sering kali menjadikan semua terlena. Bersih fisik kota mestinya perlu dimbangi dengan bersih kehidupan bermasyarakatnya. Bersih-bersih moral seperti bersih pungli, bersih prostitusi dll harus menjadi target berikutnya. Kalau tidak ingin dikatakan Kota Kita cantik luarnya saja namun sakit didalamnya !

Tipologi adhipura rupanya telah ada sejak dulu yaitu LOMBA DESA, acara ini sangat popular dan prestisius pada waktu itu. Masih jelas kala itu pagar pagar di cat dengan kapur, jalan penuh umbul-umbul, rumput dipotong, ujung bambu dililit kain untuk pemadam api berdiri disetiap rumah. Hasil bumi & ternak terbaik serta berbagai kerajinan dipajang rapi di Kantor Lurah. Ditambah ada petugas yang menjaga supaya tidak disentuh oleh pengunjung seperti layaknya benda berharga. Tidak ketinggalan, grafik-grafik kelahiran - kematian, perkawinan, tingkat pendidikan dll semua dibuat baru. Perangkat desa dan panitia dibelikan seragam baru (dari dana sumbangan warga) dan semua wajah terlihat ceria menanti kedatangan Tim Penilai !. Sementara warga berdiri kepanasan diluar pagar hanya bisa menonton saja.

Pakaiannya tidak matching, bajunya safari, sepatunya ket dan sisir rambunya menyembul di saku celana, begitulah penampilan Tim Penilai yang sudah ditunggu sejak pagi. Tidak sebanding dengan ribetnya penyambutan. Tim Penilai datang, duduk dijamu

makan, terus berkeliling desa. (Oleh panitia, Tim Penilai diarahkan ketempat tertentu yang dirasa baik). Setelah memberi pengarahan Tim Penilai lantas pulang dan tidak ketinggalan menggerakkan jari tengah ketemu ibu jari seperti nyetheti burung.

Seminggu kemudian, puncak dari segala acara yaitu acara pembubaran kepanitiaan digelar. Biasanya acara ini diisi pesta makan sambil menonton berbagai kesenian. Acara ini tergolong wajib sekalipun kalah dalam lomba desa! Konyol khan?. Barangkali begitulah cara perangkat desa menunjukan keberhasilan pembangunan desanya lewat lomba desa.

Pada tingkat wilayah yang lebih tinggi, walaupun tidak persis akan tetapi ada ciri khas yang masih sama yaitu rame-ramenya.

Derap pembangunan kurang menyentuh asas manfaat, yang terlihat lebih banyak kegiatan mempercantik kota seperti membuat patung patung, pot bunga dan lampu-lampu hias. Belum lagi upacara-upacara, bazar-bazar, panggung gembira & kumpul-kumpul mendunia semua dimeriahkan. Namun demikian dibalik keindahan kota, masih banyak jalan berlobang, saluran bermasalah, listrik belum terjangkau, air hidup mati, gedung sekolah mau ambruk dan banyak rumah bermasalah. Kesan seremonialnya lebih menonjol dibandingkan kegiatan yang berdaya guna.

Disinilah kiranya Adhipura VS Lomba Desa mempunyai nilai sama (draw). Mudah mudahan penghargaan Adipura yang ingin dicapai diimbangi pula dengan program pembangunan yang berdaya guna supaya masyarakat tidak sebagai penonton saja tetapi ikut menikmati. Semoga.

Ternyata lomba desa dapat memberikan gambaran diera kapan kita berada saat ini. Arif, Arsitek di Batam

GEDUNG WANITA

“… Saya ingin pemerintah menyediakan fasilitas gedung wanita sehingga dapat dimanfaatkan oleh wanita pada umumnya untuk meningkatkan ketrampilannya …”. Demikian permintaan seorang tokoh wanita Batam, beliau adalah Ibu Venny Suryo. Menurut saya adalah pandangan yang peka akan keadaan dan sangat visioner. (kolom wanita tanggal 11 mei 2007, pada media ini). Sebagai arsitek saya sangat respek dan tertarik untuk menguraikannya dari sisi kepentingan tata kota. Dimanakah visionernya ? Yok kita simak saja.

Hitam dan putih, positif dan negative, bersuku-suku dst adalah realita yang mewarnai kehidupan Kota Kita. Heterogenitasnya boleh dikata sudah menganga seperti jurang tanpa jembatan. Setiap komunitas seolah berlomba untuk menyeruak ke permukaan. Tak heran bila kemudian Kota Kita banyak predikatnya. Misalnya adalah terkenal sebagai kota modern tetapi juga terkenal sebagai kota ruli, terkenal agamisnya tetapi juga terkenal kehidupan malamnya dll.

Setiap komunitas asyik dengan urusannya masing-masing atau cenderung tidak saling peduli. Tatanan social demikian yang kemudian dirasa perlu ada jalan keluarnya. Permintaan kepada pemerintah untuk menyediakan gedung wanita (umum) adalah upaya pendekatan untuk merubah tatanan social menjadi lebih baik. Gedung wanita diharapkan dapat menjembatani berbagai warna social tanpa harus menanggalkan identitas masing-masing. Adanya hidup saling berdampingan akan menggerakkan dinamika kehidupan kearah yang lebih baik. Dari sisi upaya perbaikan social ini, keberadaan gedung wanita jelas dibutuhkan. Namun demikian apakah benar Kota Kita ini butuh gedung wanita?

Di kota-kota besar selalu ada apa yang namanya fasilitas olah raga, pendidikan, kesehatan, penjara dll yang kemudian kalau dibulatkan menjadi fasilitas umum (fasum) dan fasilitas social (fasos). Semua fasilitas ini ada karena memang dibutuhkan atau karena ada aktivitas yang memang perlu diwadahi. Bila ada aktifitas tetapi tidak ada wadahnya maka roda kehidupan menjadi tidak normal. Tak percaya? Cobalah bermain sepak bola pada malam hari di jalan raya, maka tidur tetangga dan lalu lintas umum akan terganggu.

Di Kota Kita, selain fasum dan fasos juga banyak dijumpai tempat-tempat pertemuan. Hanya saja tempat pertemuan tersebut kebanyakan masih menginduk pada gedung tertentu (sifatnya sebagai fasilitas gedung). Seperti misalnya aula di Asrama Haji dan function room di Hotel hotel. Gedung pertemuan yang sifatnya mandiri jumlahnya dalam hitungan jari, salah satunya adalah Gedung Beringin di Sekupang. Type sejenis Gedung Beringin dijumpai di banyak kota dan namanya memakai nama wanita. Misalnya di Semarang namanya Gedung Kartini, di Jogjakarta namanya Gedung Wanitatama dll.

Cukup mudah dipahami mengapa memakai nama wanita, karena citra feminimitas adalah persepsi yang ingin digugahnya. Disana seolah ada kelembutan, keindahan dan ada jalan keluar sehingga pas dengan filosofi tempat pertemuan. Namun jangan salah memahami gedung wanita, karena gedung ini tidak untuk kegiatan kewanitaan saja. Berbagai kegiatan seperti resepsi, seminar, pentas seni, pameran, pelatihan dan musyawarah besar juga ditampungnya. Karenanya kemudian diperlukan adanya manajemen professional untuk pengelolaannya.

Kedepan, dengan didengungkannya Batam sebagai Kota Meeting, Incentive, Convention & Exibition (MICE), maka keberadaan Gedung Wanita menjadi sangat strategis. Disinilah visionernya, sekali dayung dua pulau terlampaui.

Menempatkan gedung wanita dalam suasana alam yang asri, membuat bentuk dengan performance modern yang disentuh ornament etnik, menata landscaping dengan mengkombinasi hardscape bebatuan dan air, serta menambah vila-vila untuk meeting kecil, dapat menjadi tempat pertemuan alternative yang menarik. Dari sisi bisnis tentunya dapat diprospek disaat pertemuan dari gedung ke gedung mulai ada kejenuhan . Akhirnya, masihkah ada keraguan pihak Pemerintah Kota untuk mewujudkan keinginan diatas? Mudah-mudahan gayung bersambut, Arif, arsitek di Batam

Kolom ‘Kota Kita’ semakin menarik untuk dibaca

Kolom ‘Kota Kita’ semakin menarik untuk dibaca

Membaca Artikel yang dimuat di kolom KOTA KITA, khususnya dua edisi terakhir, saya tiba-tiba saja teringat, “ … oh help me please _ is there some one who can make me wake up from this dream … “ (spending my time, roxette), alunan lagu yang terdengar mendayu. Yang barangkali adalah ungkapan hati penciptanya yang sedang jatuh cinta dan merana.

Dalam suasana hati prihatin, buat saya itu lebih terdengar seperti dinyanyikan oleh negeri kita tercinta Indonesia, termasuk Batam Kota Kita di dalamnya. Yang merana tak berdaya, merindukan cinta kasih dan peduli dari seluruh komponen bangsanya. Untuk membangunan negeri tercinta ini, untuk membangun kota kita tercinta ini.

Saya jadi bertanya-tanya bukankah membangun tanpa perencanaan yang baik berarti sebaliknya? Dan sebagai arsitek terhadap diri sendiri juga bertanya-tanya;

- Bukankah, suatu produk desain seharusnyalah memuat criteria structural, funsional dan estetika?

- Bukankah, suatu lingkungan bentukan yang terbangun mengikuti arahan desain meliputi elemen civitas, aktivitas dan fasilitas?

- bukankah, berprosesnya suatu lingkungan bentukan, dalam dimensi waktu menuntut bekerjanya fungsi perencanaan, fungsi pelaksanaan dan fungsi control?

- bukankah, pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya masing-masing mempunyai standard kompetensi?

Bukankah memang harus demikian adanya supaya tersusun konsep pembangunan lingkungan bentukan tersebut yang holistis integralistis? Tetapi bagaimana mau membangun dan terkonsep dengan baik, kalau esensi bahwa pembangunan berawal dari fakta adanya kesalahan dan kekurangan sebagai tuntutan pemenuhan kebutuhan, tidak sungguh-sungguh kita akui dan sadari?

Bukankah memang di antara kita masih banyak yang belum mengedepankan kompetensi, berada tidak tepat atas waktu dan posisi, belum siap dengan transparansi dan sering merasa benar sendiri? Ya maaf, ini saya sampaikan karena bagaimana bisa berdiskusi mencari solusi, kalau ada yang mengkritisi malah emosi?

Nah terkait tema green architecture yang yang lagi hangat di kolom Kota Kita (walaupun sudah jadi issue global semenjak doeloe … sekali), menurut saya harus diaplikasikan sebagaimana supremasi hukum harus ditegakkan, bukan tigaperempatnya atau sepersepuluhnya. Pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan adalah untuk kepentingan semua, dan ini bagian dari kebutuhan yang sangat mendesak, tidak sadarkah kita bahwa sudah begitu banyak kerusakan alam, ketidakseimbangan ekosistem, pemanasan global, pencemaran dan bencana serta korban yang ditimbulkan?

Please deh, ini kan PR kita bersama untuk dicarikan solusi yang baik. Jadi mestinya saya tidak perlu bertanya-tanya lagi, akan terganggukah kondusifnya situasi, atau akan bergeserkah dari green architecture menjadi red architecture. Kerena menurut saya adalah konyol, membenturkan konsep pembangunan dengan efek yang ditimbulkan pada tataran aplikasi. Bukankah mestinya itu minimal sudah dilakukan pada tahapan feedback dalam perumusan konsep? Dan ini tidak sekedar green architecture tetapi juga konsep pembangunan secara keseluruhan, bila sungguh dipahami dan diaplikasi apa yang menjadi esensi, maka tidak akan ada kambing hitam green architecture dan tidak akan ada kedok yang namanya kondusif.

Taruh kata, sudah terkonsep dengan baik, dan teraplikasi dengan baik, itupun pada gilirannya masih akan terjadi distorsi dan pergeseran-pergeseran konstanta peubah-peubah suatu lingkungan bentukan. Artinya, bukankah ini menjelaskan bahwa untuk itulah diperlukan adanya evaluasi, revisi, diskusi atau apalah itu, untuk mencari mana yang salah dan kurang dan untuk menetapkan solusi (problem seeking & solving)? Kecuali kita adalah penggemar status quo, yang tentunya argumentasi adalah pembenaran dan bukan kebenaran. Makanya kondusif itu yang mestinya adalah kebenaran bisa jadi adalah pembenaran makanya disebut kedok.

Kita juga tahu begitu banyak program-program pembangunan yang baik, termasuk salah satunya adalah pemutihan IMB (bukan pemutihan SBPMB), akan tetapi kalau sungguh mau mendukung atau turut berpartisipasi, pada tataran teknis harus dilakukan dengan cara yang benar. Kiranya perlu dengan sungguh-sungguh dijalankan fungsi perencanaan, fungsi pelaksanaan dan fungsi control. Supaya terwujud kaidah keadilan/fair, transparansi, akuntable dan sebagainya sebagaimana standard pelayanan public yang memang telah ditetapkan. Karena bisa jadi kenaifan kita justru mblondrokke atau menjerumuskan pihak-pihak yang berkepentingan.

Seperti analisa sederhana dari seorang kawan, bahwa misalnya ada 100.000 unit rumah dan masing-masing melanggar KDB 10 meter persegi saja, maka sudah 1.000.000 meter persegi lahan terbuka yang beralih fungsi. Barang kali ini menjadi kontribusi yang cukup besar terhadap terjadinya banjir, misalnya. Belum lagi kalau ground cover yang berupa perkerasanpun turut dihitung. Maaf, menurut saya ini lebih esensial ketimbang alasan peningkatan PAD.

Itulah barangkali, mengapa para pendahulu kita membuat standard kompetensi, bahkan saat ini di kampus-kampus dan di sekolah-sekolah pun diterapkan kurikulum berbasis kompetensi. Artinya, jelas sekali efeknya, apa hasilnya kalo program-program pembangunan yang baik itu dilaksanakan oleh kita-kita yang tidak berkompeten.

Kota dengan segala permasalahnnya memang kompleks, dan mari kita urai satu persatu di kolom Kota Kita ini. Usul aja Batam Pos, bagaimana kalau digagas suatu saat ada semacam seminar atau forum diskusi terbuka yang melibatkan para pakar, praktisi dan pihak-pihak terkait, termasuk pakar hukum dan pers/media? Sepertinya akan terbuka formula-formula yang baik untuk perkembangan Kota Kita. Dan seperti dua penulis sebelumnya, bolehlah saya katakan selanjutnya biarlah mayarakat yang menilai.

Whalllah …, maaf kalau kebanyakan pertanyaan. Harapannya akan semakin banyak yang menulis di kolom Kota Kita, biar bertanya-tanyanya berganti tema.

Terima kasih Batam Pos yang sudah menyisakan sedikit ruang buat kita-kita yang doyan berekspresi, menjadi media untuk belajar bersama saling mengisi, mengkritisi dalam suasana demokrasi. Tetap saling menghargai dan bukan caci maki.

Minimal dari tulisan-tulisan itu dapatlah diketahui wacana Kota Kita kah atau emosi kah yang terekspresi. Sah-sah saja toh? Bagaimana jadinya ya kalau menulispun sambil emosi? Yang Pasti kolom Kota Kita menjadi semakin menarik untuk dibaca.

Apalagi sambil mendengar senandung, “ … oh help me please _ is there some one who can make me wake up from this dream _ spending my time _ watching the days goes by _ I’m feel’s so small I stared at the wall _ hoping that you are missing me to … “ Semoga kolom Kota Kita Batam Pos bisa menjadi inspirasi tema kita-kita untuk refleksi.

Ign. lagi BT (bertanya-tanya)

PERMOHONAN FATWA PLANOLOGI


Dalam skala daerah, perencanaan tata ruang terbagi dalam beberapa tingkatan dengan hirarkhi sebagai berikut :

- Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

- Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)

- Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)

- Rencana Teknis Ruang Kota (RTRK)

- Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL)

Pembagian perencanaan tata ruang tersebut untuk membedakan sejauh mana kedalaman studi / perencanaan yang dilakukan yaitu dari yang sifatnya sangat umum seperti penataan land use sampai dengan detail tata bangunan.

Memperhatikan hirarkhi perencanaan tata ruang yang ada, maka kedudukan Fatwa Planologi (FP) dapat dikatakan tidak termasuk dalam struktur perencanaan tata ruang. Fatwa Planologi adalah ketentuan – ketentuan yang digunakan sebagai petunjuk perencanaan tapak / site atau Fatwa Planologi adalah semacam advice/pengarahan terhadap perencanaan tapak. Di sini Fatwa Planologi lebih berfungsi sebagai fungsi kontrol sehingga kedudukan Fatwa Planologi berada di luar terminology perencanaan tata ruang.

FUNGSI PENGAWASAN / KONTROL. Mekanisme pengawasan terhadap implementasi perencanaan tata ruang telah ada dan berbeda tergantung hirarkhinya. Dalam skala RTRW, pengawasan dilakukan dengan mengevaluasi setiap 5 tahun sekali atau periode tertentu disesuaikan dengan perkembangan perkotaannya, sedangkan dalam skala yang paling detail yaitu pada saat akan membangun, mekanisme pengawasan dilakukan dengan diterbitkannya Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang termasuk di dalamnya ada pengawan lapangan.

Sebagai fungsi pengawasan, kedudukan Fatwa Planologi berada di antara serangkaian perijinan yang terkait dengan pelaksanaan pembangunan. Rangkaian tersebut dimulai dari diterbitkannya Penetapan Lokasi (PL), Fatwa Planologi, Ijin Pematangan Lahan dan IMB. Artinya sampai dengan saat ini setelah era Otonomi Daerah, Fatwa Planologi masih mempunyai “space” strategis dalam rangkaian struktur pengawasan tata ruang.

Pada masa-masa yang akan datang setelah payung hukum Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ditetapkan di kawasan Batam Bintan Karimun (BBK), kedudukan Fatwa Planologi menjadi rentan untuk dipertanyakan. Adanya Fatwa Planologi di Batam apakah juga akan diterapkan di Bintan dan Karimun atau kondisi sebaliknya dihilangkan. Atau dalam Kawasan Ekonomi Khusus masih tetap ada kawasan yang lebih khusus lagi ?

PELAYANAN DIBAWAH STANDARD. Terlepas dari persoalan di atas kiranya tetap menarik untuk mengamati sejauh mana kualitas penyelenggaraan pelayanan public pada permohonan Fatwa Planologi. Pengamatan dilakukan dengan cara membandingkan Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik pada KEPMENPAN No. KEP/26/M.PAN/2/2004 dengan pelayanan permohonan Fatwa Planologi saat ini.

Fatwa Planologi merupakan salah satu dari sekian perijinan local yang hanya menempatkan loketnya saja di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Gedung Pusat Informasi Sumatera, sementara proses pemeriksaan berkas permohonan masih dilakukan di kantor Otorita Batam.

Pemisahan lokasi loket dengan lokasi proses pemeriksaan tidak memberikan aspek kemudahan pelayanan, malah merepotkan. Pemicunya karena dalam proses pemeriksaan masih terdapat kebiasaan Pejabat terkait memanggil Pemohon untuk berkonsultasi langsung. Di sini Pemohon dibuat bergerak dari gedung ke gedung kemudian berpindah dari meja ke meja.

Akan halnya ada pembenaran tetap diperlukan konsultasi, mestinya ditempuh dengan cara transparan. Contoh proses konsultasi yang sudah baik yaitu pada Ijin Pematangan Lahan. Proses konsultasi dilakukan dengan melibatkan secara bersama semua bagian / instansi terkait dengan Pemohon, yang kemudian dituangkan dalam berita acara yang mengikat. Praktek-praktek pertemuan secara personal antara Pemohon dan Pemberi pelayanan (Pemeriksa Teknis) yang terjadi pada permohonan Fatwa Planologi dirasa jauh dari kaidah transparansi.

Hal-hal lain yang dapat mengurangi kualitas pelayanan permohonan Fatwa Planologi antara lain adalah :

1. Tidak adanya Peraturan / Ketentuan Teknis (bukan persyaratan teknis) yang diinformasikan secara terbuka.

2. Perubahan ketentuan yang tidak disosialisasikan terlebih dahulu, misalnya lebar minimum jalan di lingkungan perumahan yang semula ROW 6 M berubah menjadi ROW 7 M

3. Dasar pemeriksaan Fatwa Planologi yang digunakan yaitu antara Keputusan Ketua Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam No. 078/REN-KPTS/VI/1994 dan No. 046/AP-KPTS/III/1992 dengan Perda Kota Batam No. 2 Tahun 2004 tentang RTRW terdapat hal-hal yang tidak sinkron, misalnya ketentuan jumlah lapis lantai permukiman, penentuan Luas Lantai dasar / KDB dan GSB.

Peraturan / Ketentuan Teknis Fatwa Planologi yang tidak diinformasikan secara terbuka dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Waktu penyelesaian permohonan yang telah ditentukan 22 Hari menjadi lentur karena alasan adanya perbaikan.

Pemohon sangat dirugikan karena sejak awal tidak dapat menerapkan ketentuan-ketentuan teknis yang dimaksudkan sehingga banyak berkas permohonan (gambar) mengalami perbaikan.

2. Celah adanya pemeriksaan yang bersifat seleratif pada saat konsultasi secara personal.

Selain masalah transparansi tersebut diatas, mekanisme pertanggung jawaban bila terjadi kerugian pelayanan publik dan kompensasi publik bila terjadi penyimpangan kinerja pelayanan juga belum tersedia wadahnya.

Arif, arsitek

BANGKU KOSONG

Pelayanan satu atap, kapan menjadi satu pintu.

Membaca Artikel yang dimuat di kolom KOTA KITA, saya tiba-tiba saja teringat satu cerita tentang bangku kosong di dalam kelas di suatu sekolah. Konon katanya murid yang duduk di bangku itu mati karena nenggak racun serangga, mudah ditebak, berikutnya murid yang lain ndak satupun berani duduk di bangku itu. Keenganan atau kalau ndak mau dibilang ketakutan ini berlangsung hingga beberapa tahun berikutnya, bahkan pihak sekolah pun ndak juga memindahkan atau menggantinya, maka jadilah bangku yang angker.

Saya bertanya-tanya apa analogi ini kiranya bisa sedikit mengilustrasikan keenganan masyarakat mengurus perijinan. Lha bagaimana ndak, mari kita coba jalan-jalan ke meja-meja pejabat terkait perijinan. Yang pertama kita rasakan jauuuuh, ya iya laaah, jauh dari PPT. Berikutnya, kok banyak betul ya mejanya. Belum lagi sulitnya memahami makna bahasa yang digunakan, ya bahasa verbal ya bahasa tubuh. Yang ini sulit ditebak, orang lagi marah, lagi senang, lagi ada maunya atau apa, walaupun tidak jarang ada yang memang begitu mudah dipahami, terus terang apa maunya(halah).

Ndak percaya? Contoh ya, coba apa artinya ciak kopi, tolonglah dibantu, aman boss?, mau lebaran neeh, dan sebagainya. Sulit dipahami, bukan kemudahan, bukan kecepatan dan bukan pula kemurahan yang dijumpai, padahal iklim kondusif yang kita perlukan. Jadi kiranya mudah dipahami bangku di depan meja-meja itu menjadikan orang enggan untuk duduk. Jadi ya jangan terlalu cepat kita nilai negatif atas kengganan masyarakat mengurus perijinan, lha wong ini bentukan situasi, yang penting ada kesadaran bahwa ini adalah tanggung jawab kita bersama.

Ada gagasan menarik yang bisa diambil dari cerita bangku kosong di atas, di mana suatu hari akhirnya bangku kosong di kelas itu diambil dan dibiarkan tanpa bangku. Usul aja neeh, bagaimana kalau bangku-bangku yang ada di depan meja-meja terkait dengan perijinan di singkirkan saja, dipindah di depan loket PPT. Artinya biar perijinan bisa dituntaskan di satu loket atau satu pintu/meja di PPT, semaksimal mungkin untuk menghindari tatap muka langsung dengan pejabat terkait. Toh perijinan semua di proses dari awal secara tertulis, ya mestinya bisa diselesaikan dengan fair secara tertulis. Jadi ruang konsultasi di PPT pun berfungsi sebagaimana mestinya.

Saya kembali bertanya-tanya, bagaimana ya seandainya tetap terjadi tatap muka langsung, walaupun sudah ndak ada bangku, kan masih bisa sambil berdiri. Tetapi sepertinya lebih menjajikan kalau ketemuan di luar kantor (halah), apalagi sambil ngopi gitu lho.

Harapan saya seh suatu hari PPT bukan hanya pelayanan satu atap tapi juga satu pintu, dan biarlah masyarakat ndak keluar masuk banyak pintu, ndak dari meja ke meja, ndak dari bangku (yang angker) ke bangku (yang semakin angker) lainnya, yang setiap kali beranjak dari bangkunya kantong dibautnya kosong.

Lho ini cerita tentang bangku kosong apa tentang kantong kosong, yo embuh, nggak saya pikirin lagi lha wong itu saja kayaknya ndak ada hubungannya, lagian saya kembali asyik bertanya-tanya.

Kenapa ya ndak disediakan saja ruang pers di PPT, yang bisa menjadi kontrol yang efektif? Ya paling ndak sediakan lah tempat nongkrong yang nyaman buat kawan-kawan wartawan. Sepertinya kalo bangku kosong diisi pers, ndak lagi menjadi bangku yang angker, tapi bisa-bisa wartawannya yang menjadi lebih angker … menakutkan ya? Ya iya laaaah, takut masuk koran gito loh (halah). Eee, jangan salah, bisa jadi yang lebih angker bukan wartawannya tapi bangku di belakang meja, ya tentunya kalo keseringan dibiarkan kosong, siapa yang ndak enggan, siapa berani?

Ign. lagi BT (bertanya-tanya).