December 18, 2010

INDONESIAKU (35)

Nonton Bola,
Belakangan ini dunia bola kita begitu gegap gempita,
timnas kita merangkak menunjukkan prestasinya.
Begitu mempesona, menyihir kita-kita untuk
berbondong-bondong menyaksikanya,
senayan memerah dan bergemuruh,
begitu juga di rumah, di cafe-cafe,
di mana pun bahkan di manca negara.
Tidak perduli petani, tentara, artis,
bahkan presiden dan menterinya pun juga.
Aktivitas timnas dan prestasinya dan juga pesonanya,
sudah lama dirindukan.
Semua bergairah,.
atribut merah putih melengkapi hampir semua suporter,
bahkan mewabah di seantero nusantara
sampai permintaan melampaui persediaan.
Begitu besar pengaruhnya,
mengeliat seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa ini.
Sungguh merupakan penghiburan
di antara deraan bencana dan
hiruk-pikuk manuver elite politik bangsa ini.
Dan ketika aku nonton bola,
aku hanyalah satu di antara suporter,
bahkan walaupun aku seorang artis,
aku hanyalah seorang suporter.
Begitu pun seandainya aku seorang presiden
aku hanyalah satu di antara suporter.
Suporter tak henti mengelukan timnas
bukan mengelukan koordinator suporter
bukan mengelukan presidennya suporter
bukan juga mengelukan pengurus timnas.
Kini aku merindukan pemimpin yang bisa
membawa kita menjadi suporter bagi Bangsa dan Negara ini,
Menjadikan bangsa yang bangga dengan negaranya sendiri,
membangkitkan semangat nasionalismenya. 
Dan Menjadikan negara dan bangsa ini
sebagai bangsa yang punya harga diri dan sarat prestasi.
Kini aku merindukan pemimpin yang begitu dicintai,
yang sarat prestasi,
yang mampu menyatukan komponen bangsa ini,
untuk bersama mengelukan.
Dan aku berharap pemimpin yang nonton bola,
adalah betul menjadi suporter,
dan hanyalah salah satu dari suporter,
kalau toh jabatannya tinggi
adalah tanggung jawab untuk menJadikan dirinya
teladan bagi yang lain,
menjadi suporter yang baik,
dan bukan untuk pencitraan diri atau alibi.
Berharap suatu hari nanti NKRI sarat prestasi,
dan menjadi mempesona,
dan mampu menyihir bangsa ini untuk bangkit,
bangun dari tidur panjangnya.

Biarlah Pancasila falsafahmu
Suatu hari nanti akulah presidenmu

December 12, 2010

SESEREPAN (6)

Dalane wong urip.

Dalane wong urip, dudu dalane wong mati. Nyumerebi dalane wong urip raket supeket karo nyumerebi sangkan parane dumadi,  ya nyumerebi asal-usule urip, ya asal-usule wong urip. Tegese kudu ngerti apa sing ditembungke dalane wong urip lan kudu ngerti dununge sangkan parane dumadi.

Menungsa urip ing alam donya utawa lahir ing alam donya, ateges tata lahire urip merga anane sesepuh bapa biyung.

Menungsa kang tata lahire urip nduweni roh langgeng menungsa utawa rasa, kawit ana ing kandungan utawa batine urip, ateges manjalma, amarga tumetese wahyu urip wujud tumurune wahyu roh langgeng menungsa ana ing jabang bayi, kang sumbere sesepuh roh langgeng.

Menungsa kang tata lahire urip utawa badan wadage urip lan nduweni roh langgeng menungsa, iku kang ditembungke wong urip. Ing kene rasa langgeng menungsa, urip lan genep, yen jumbuh karo rasa sesepuh langgenge. Jumbuhe rasa langgeng iki amarga anane sesepuh bapa guru kang njumbuhake rasa langgeng iku mau.

Sesepuh langgeng, sesepuh bapa guru lan sesepuh bapa biyung kanggone menungsa teges sangkan lan parane dumadi, gumolong karo sangkan lan parane tresna lan bekti. Laku tresna lan bekti tumuju marang sesepuhe iku mau kang ditembungke ngerti sangkan parane dumadi.

Laku tresna lan bekti kasebut ing ndhuwur tegese dalane wong urip, dalan tumuju marang sesepuhe, ya sangkane lan parane dumadine menungsa.

Ditembungke dudu dalane wong mati amarga laku tresna lan bekti iku lakune wong urip, laku kang ora bisa ditindakake dening wong mati. Semono uga laku tresna lan bekti bisane tumuju marang sesepuhe kang urip, sing ditresnani lan dibekteni iku ya kudu urip.

Ringkese, sangkan parane dumadi iku dalane wong urip, wujud laku tresna lan bekti.

December 06, 2010

berubah ... lagi

Bubur Suro

Tanggal 1 Suro diperingati oleh masyarakat Jawa dengan cara yang khas. Seperti halnya dalam tradisi dan budaya yang lain, setiap ritual pelintasan (rites of passage) selalu diiringi dengan elemen kuliner sebagai lambang.

Masyarakat Jawa menghadirkan bubur suran atau bubur suro pada malam menjelang datangnya 1 Suro. Dalam konsep Jawa, setelah lewat pukul empat petang dianggap sudah memasuki hari baru esok. Harus diingat bahwa bubur suro bukanlah sesajen yang bersifat animistik. Bubur suro syarat dengan lambang, dan karenanya harus dibaca, dilihat, dan ditafsirkan sebagai alat (uba rampe dalam bahasa Jawa) untuk memaknai 1 Suro atau Tahun Baru yang akan datang.

Bubur suro dibuat dari beras, santan, garam, jahe, dan sereh. Rasanya gurih dengan nuansa asin-pedas tipis. Di atas bubur ini ditaburi serpihan jeruk bali dan bulir-bulir buah delima, serta tujuh jenis kacang, yaitu: kacang tanah, kacang mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tholo, kacang bogor – sebagian digoreng, sebagian direbus. Diakhiri dengan beberapa iris ketimun dan beberapa lembar daun kemangi. Bayangkan, bauran elemen bahan dan bumbu yang menghadirkan berbagai tekstur. Klethik, klethuk, kriuk, krenyes … Hmm!

Lauk yang umum dipakai untuk mendampingi bubur suro adalah opor ayam yang mlekoh dan sambal goreng labu siam berkuah encer dan pedas. Campuran itu menjadikan bubur suro sangat bergizi.

Sebagai uba rampe, bubur suro tidak hadir sendiri. Ada lagi uba rampe lain berbentuk sirih lengkap, kembar mayang, dan sekeranjang buah-buahan. Hadirnya sirih lengkap melambangkan asal-usul dan penghormatan atau pengenangan kita kepada orang tua dan para leluhur – khususnya yang telah mendahului kita. Sirih lengkap – biasanya diletakkan dalam bokor kuningan atau tembaga – selalu hadir sebagai kelengkapan dalam ritual pelintasan Jawa dengan makna yang sama.

Kembar mayang yang hadir pada peringatan 1 Suro berbeda dengan kembar mayang yang kita lihat pada upacara pernikahan masyarakat Jawa.
Disebut kembar mayang karena memang terdiri atas dua vas bunga. Masing-masing vas berisi tujuh kuntum mawar merah, tujuh kuntum mawar putih, tujuh ronce (rangkaian) melati, dan tujuh lembar daun pandan.

Kenapa harus serba tujuh? Tujuh melambangkan jumlah hari dalam seminggu. Maknanya, dalam hidup setiap hari, kita harus selalu punya tekad dan keberanian untuk bertindak (dilambangkan dengan mawar merah). Tetapi, semua tindakan itu harus dilandasi dengan niat yang bersih dan benar, seperti dilambangkan oleh mawar putih. Dan akhirnya, semua tindakan itu harus mampu mengharumkan dunia umat manusia, seperti dilambangkan dengan rangkaian bunga melati dan daun pandan.

Sekeranjang buah-buahan juga diisi dengan tujuh jenis buah, dan masing-masing terdiri atas tujuh butir, misalnya: tujuh jeruk, tujuh salak, tujuh rambutan, dan lain-lain. Maknanya adalah agar semua pekerjaan dan tindakan menghasilkan buah yang manis dan  bermanfaat bagi sesama.

Bila kita melihat, “membaca”, dan memberi makna pada lambang-lambang yang dihadirkan oleh bubur suro dan uba rampe-nya itu, akan tampak kemiripannya dengan tradisi modern menyambut tahun baru yang ditandai dengan refleksi dan resolusi. Kita melakukan peninjauan kembali terhadap kinerja tahun sebelumnya, dan kemudian membuat resolusi untuk memperbaiki tata hidup dan pencapaian di tahun berikutnya.

Bubur suro dan uba rampe yang dihadirkan kemudian tampil sebagai alat atau check list untuk memudahkan proses refleksi dan resolusi yang kita lakukan. Sudahkah kita punya tekad yang kuat untuk bekerja? Sudah benar dan bersihkah landasan tekad kita? Apakah pekerjaan kita sudah mengharumkan lingkungan kita? Apakah semua itu telah menghasilkan buah yang nyata? Bila belum, ayo kita perbaiki untuk tahun berikutnya.

Bubur suro bukanlah sesajen! Lepas dari urusan keberagamaan, “membaca” bubur suro sebagai sebuah pusaka kuliner yang patut dilestarikan dalam konteks tradisi dan budaya

Kalender Jawa

Kalender Jawa adalah sebuah kalender yang istimewa karena merupakan perpaduan antara budaya-budaya. Dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang dipakai ada dua: siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti yang kita kenal sekarang, dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran. Bermula pada tahun 1625 Masehi, saat itu tahun 1035 H, angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan. Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan. Sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka, diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Di bawah ini disajikan nama-nama bulan Jawa, nama-nama ini adalah nama bulan kamariah atau candra (lunar).
 1. Sura,                                               30 hari
 2. Sapar                                              29 hari  
 3. Mulud                                             30 hari          
 4. Bakda Mulud                                  29 hari  
5. Jumadilawal                                     30 hari   
 6. Jumadilakir                                      29 hari    
 7. Rejeb                                             30 hari              
 8. Ruwah                                             29 hari          
 9. Pasa                                                30 hari             
10. Sawal                                             29 hari                  
11. Dulkangidah                                   30 hari                       
12. Besar                                             29 hari              (total 354 hari)
Pada tahun 1855  Masehi, sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan musim atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata mangsa, yang adalah pembagian bulan yang asli Jawa, disesuaikan dengan penanggalan tarikh kalender Gregorian yang juga merupakan kalender surya. Tetapi lama setiap mangsa berbeda-beda.
1. Kasa                 23 Juni                  2 Agustus
2. Karo                 3 Agustus             25 Agustus
3. Katelu              26 Agustus            18 September
4. Kapat               19 September        13 Oktober
5. Kalima              14 Oktober            9 November
6. Kanem              10 November        22 Desember
7. Kapitu               23 Desember         3 Februari
8. Kawolu             4 Februari             1 Maret
9. Kasanga           2 Maret                26 Maret
10. Kasepuluh      27 Maret              19 April
11. Dhesta            20 April                12 Mei  
12. Sadha            13 Mei                  22 Juni

Oleh orang Jawa tahun-tahun digabung menjadi semacam abad yang terdiri dari delapan satuan lebih kecil. Setiap satuan ini terdiri atas 8 tahun Jawa dan disebut windu. Di bawah disajikan nama-nama windu:
  1. Alip (354 hari; 1 Suro=Selasa Pon)
  2. Ehe (355 hari; 1 Suro=Sabtu Pahing)
  3. Jimawal (354 hari; 1 Suro=Kamis Pahing)
  4. je (355 hari; 1 Suro=Senin Legi)
  5. Dal (354 hari; 1 Suro=Sabtu Legi)
  6. Be (354 hari; 1 Suro=Rabu Kliwon)
  7. Wawu (354 hari; 1 Suro=Ahad Wage)
  8. Jimakir (355 hari; 1 Suro=Kamis Pon)
Zaman sekarang hanya pekan yang terdiri atas lima hari dan tujuh hari saja yang dipakai, pekan yang terdiri atas lima hari ini disebut sebagai pasar oleh orang Jawa dan terdiri dari hari-hari:
  1. Legi
  2. Paing
  3. Pon
  4. Wage
  5. Kliwon
Kemudian sebuah pekan yang terdiri atas tujuh hari ini, memiliki sebuah siklus yang terdiri atas 30 pekan. Setiap pekan disebut satu wuku dan setelah 30 wuku maka muncul siklus baru lagi.