November 08, 2011

makarya lantaran berkah

Tetembungan berkah ora dumunung ing pangucap, nanging ana ing sambung rasa karo Gusti. Sambunge rasa kang nuwuhake rasa ngrerepa mring kawelasan, ya tresna lan bekti. Yen patrape mengkono mesthi bakal pinaringan berkah.
Dene kabungahan kang awujud berkah ora mung dirasakake kanggo awake dhewe, nanging uga kanggo kabungahane wong akeh, luwih-luwih kang lagi nandhang papa lan cintraka, mula kalebu ewoning tumindak kang utama.
Bisaa nganti ngrasakake kanugrahan Gusti sing tanpa kendhat saben dinane, wujud apa wae, patrape rumangsa beja kemayangan dene kepareng ngrungu lan nyumerepi. Nderek mbengkas kasangsarane urip ing donya iki lan mbabar urip utama kang binerkahan ing Gusti.
Katresnan lan bekti marang Gusti iku mujudake pengandel kang wutuh. Ora cukup mung diwujudake ana ing obahe lambe utawa rasa prentuling ati, nanging luwih utama, iki sing wigati, yaiku kababar ing urip padinan kanthi watak, apa kang ditindakake in urip mung lantaran kanggo berkah, Gusti makarya. Ing telengin ati tansah rumangsa, dene Gusti kersa miji awake dhewe minangka lantaran lumebering berkah tumrap pepadha. Tumrap kang lagi nandhang papa, ateges gelem digunakake Gusti kanggo mbiyantu ngenthengake rekasane urip pepadha.
Mula kudu tansah eling yen namung sakdrema minangka lantaran sih Gusti. Supayane tansaya ngrembaka wujud pituduh bab gandrunge manungsa marang Gusti.

November 05, 2011

let construct ...


house of mr.Bob londo australi

masih seputaran avenue ....

di atas karang ... didebur ombak

BURUNG GARUDA BICARA




Suatu hari.

OB (Office Boy) : Biarlah lain kali saja kubersihkan, terlalu tinggi dipasang, terlalu jauh dari jangkauan tanganku. Aku kerjakan yang bisa aku kerjakan dulu, kalau dua foto di bawahnya ini masih bisa kujangkau dengan kemoceng ini. Aku harus cari cara untuk bisa naik ke atas sana, supaya lain kali bisa kubersihkan. Kotor sekali kondisinya, sekedar dilihatpun tidak nyaman di mata. Kalau bukan aku siapa lagi yang akan melakukannya.

Beberapa bulan kemudian. Ketika si OB sedang membersihkan ruangan dan kebetulan melintas di bawahnya, ada benda kecil berwarna hitam jatuh tepat di kepalanya. Seketika tangannya meraihnya di sela-sela rambutnya, dan begitu diamatinya ternyata kotoran cicak.

OB : Aaahhh, dari mana ini asalnya? Pasti dia sembunyi di balik burung garuda. Mungkin dia mengingatkanku bahwa aku pernah punya niat untuk membersihkannya. Oke, akan kulakukan, nunggu apa lagi kalau tidak sekarang.
Segera si OB beranjak ke gudang mengambil tangga, kemudian naik dan mulailah tangannya menari-nari memainkan kemoceng dan lap basah yang sedari tadi sudah tergantung di pundaknya.

OB : Hai burung, apa khabar?

BG (Burung Garuda) : ???

OB : Malang betul nasibmu, debu tebal begini yang hari-hari menyelimutimu. Kotoran cicak menempel hampir di seluruh tubuhmu sampai mengering dan lengket , bahkan laba-laba pun mulai bersarang.

BG : Siapa bilang nasibku malang? Cobalah kamu perhatikan baik-baik, penampilanku begitu gagah, aku tercipta dengan konsep yang sangat indah. Aku dipasang di posisi tertinggi, bahkan kedua pemimpin tertinggi Negara pun dipasang di bawahku.

OB : Apalagi yang bisa kukatakan, kondisimu memprihatinkan. Diselimuti kotoran dan tak lagi diperhatikan. Setelah kubersihkan aku yakin tak ada yang menyadari, bahkan mungkin kalau kulepas dari tempatmupun tidak ada yang memperhatikan.

BG : Jangan pesimis begitu boy. Toh aku masih diucapkan setiap upacara bendera, coba saja kamu datang ke sekolah-sekolah setiap hari Senin. Anak TK pun hapal. Apalagi aku tertera dan menjadi bagian tak terpisahkan dari UUD Negara ini. Dan keberadaanku searti dengan keberadaan Negara ini.

OB : Burung, aku tahu itu.

BG : Tahu saja tiada guna boy, kalau kamu tidak mengerti hakekatnya dan tidak mengamalkannya dalam keseharian.

OB : Itu dia yang kumaksud. Seremonial! Formalitas! Tidak satu lagi kata dan perbuatan. Semuanya sibuk sendiri-sendiri dengan urusannya masing-masing. Yang berkuasa, yang menjabat begitu juga, lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.

BG : …..

OB : Kok diam saja, kamu tahu sendiri kan? Lambang tinggalah lambang. Pancasila? Makanan apa itu? Hanya manis di bibir. Sibuk ngurusin burungya sendiri!

BG : Sudah, sudah! Pelan-pelan boy, kalau menurutmu kondisinya sudah separah itu, mulailah dari dirimu sendiri. Begini boy, aku akan tetap seperti ini, disadari atau tidak aku akan tetap menjadi kebutuhan mendasar negaramu. Sejarah telah membuktikan aku ini sakti, dan di waktu-waktu yang akan datang juga akan terbukti lagi bahwa aku memang sakti. Bahkan kalau saatnya tiba aku akan mendunia seperti yang pernah dicita-citakan dulu.

OB : Burung, aku juga berharap begitu, tapi …

BG : Jangan tapi lagi, ini memang tidak mudah. Mulailah dari diri sendiri, mulailah belajar mengenal diriku kembali. Cobalah kenali setiap sila yang ada di dadaku, pahami hakekatnya satu per satu, dan cari tahu apa wujud nyata pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan lakukan jangan sekedar tahu, jangan lupa ajarkan ini pada anak-anakmu semenjak dini. Ajarkan apa itu toleransi, apa itu tepa selira, apa itu silaturahmi, biasakan berdiskusi, dan perkenalkan apa itu hak dan kewajiban. Kemudian beri contoh, bukankah menjadi teladan atau panutan adalah cara yang jitu bagi anak-anak. Cobalah tanamkan budaya gotong-royong dari keluarga.

OB : Ganti tema untuk lomba anak-anak, missal mewarnai Burung Garuda Pancasila, bukan mewarnai upin dan ipin …

BG : Hehe betul boy, banyak hal bisa dilakukan, teruslah berusaha ya!

OB : By the way, kamu lihat nggak tadi cicaknya lari ke mana?

BG : Waduh bahasamu boy, cobalah gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

OB : Iya, waktu itu aku ngobrol dengan anakku dan kugunakan logat kebarat-baratan, diprotes anakku. Katanya begini, “ Papi, gunakanlah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hargailah sumpah pemuda!” Tapi pertanyaanku belum kamu jawab, lihat cicak nggak?

BG : Itu, lari di belakang fotonya Pak Wapres.

OB : Waduh!!! Bahaya kalau semua-semua dipenuhi kotoran cicak. Burung, sudah dulu ya ngobrolnya, aku kejar cicak dulu.

BG: Sssssstttt ….! Boy, jangan ceritakan ke siapa-siapa ya apa yang tadi kusampaikan. Nanti dikiranya aku sok penting. Kalau aku masih diperlukan biarlah kalian semua dengan kesadaran masing-masing merawatku.

OB : …

Bersambung …

(Maksudnya, bagi siapa saja yang membaca silahkan saja kalau mau menyambung, berkomentar sebagai OB maupun sebagai BG)

November 03, 2011

PANCASILA, HANYA BICARA TIADA GUNA


Masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila adalah cita-cita bangsa dan Negara ini, sebagaimana kita semua sudah mengetahuinya, setidaknya yang pernah sekolah pernah mendengarnya. Cita-cita yang luhur dan menjadi idaman seluruh anak bangsa. Adil dan makmur menjadi intinya, dan berdasarkan Pancasila menjadikannya spesifik, terasa ‘Indonesia banget’.
Tetapi cita-cita luhur bangsa ini tidak akan pernah terwujud jika hanya di omongan, tanpa pengamalan tentunya hanya akan habis di cita-cita saja nantinya. Harus ada tindakan nyata, yang dilakukan segenap anak bangsa, menjadi gerakan masyarakat luas, yang dilandasi dengan kesadaran yang cukup.
Sebaiknya tidak ditunda lagi, mulailah sekarang juga, mulailah dari diri sendiri, bahkan dari hal yang terkecil sekalipun. Pilih hal yang paling mudah dan paling mungkin untuk dilaksanakan, untuk memastikan bahwa upaya pengamalan Pancasila ini benar-benar bisa segera dilaksanakan dan dibudayakan kembali.
Orang Jawa bilang : ‘muni thok tanpa guna’, bahasa ‘bule’nya NATO, no action talk only. Dalam hal ini ada satu hal kecil yang layak kita cermati, yaitu budaya gotong-royong. Satu aktifitas sederhana yang dapat dijadikan sarana awal dan mendasar untuk meretas jalan bagi kembalinya falsafah hidup bangsa ini, satu aktifitas sederhana yang sangat mungkin untuk kita laksanakan di lingkungan terkecil, di lingkungan RT dalam kegiatan bertetangga sehari-hari.
Lakukan kegiatan bergotong-royong ini, dan cermati, rasakan keindahannya. Bukankan ini wujud kecil yang nyata pemahaman hak dan kewajiban sebagai wujud kedilan sosial. Bukankah musyawarah bisa terjadi dalam suasana yang sangat cair, saling menghargai. Bukankah silaturahmi terjalin dengan baik, semua bersatu dalam suasana kekeluargaan. Bukankah tenggang rasa menjadi sangat terasa, semuanya sama, ringan sama dijinjing berat sama dipikul, dan baju-baju dikotomis ditanggalkan. Bukankan dalam gotong royong toleransi keberagamaan juga berkembang. Gotong royong ini bisa menjadi alternative wujud nyata membudayakan Pancasila.
Dalam kegiatan-kegiatan gotong-royong ini, alangkah prospektifnya bila melibatkan anak-anak muda. Biarlah mereka belajar secara alami falsafah hidup bangsa dan negara ini, sebagai cara hidup mereka sendiri dalam berbangsa dan bernegara. Di pundak mereka tanggung jawab atas nasib bangsa ini akan tiba gilirannya, dan dari generasi bangsa yang lebih baik kita layak untuk berharap.
Ayo kita hidupkan budaya gotong royong di lingkungan kita, jangan hanya bicara Pancasila.