Pelangi – pelangi alangkah indahnya, merah kuning hijau dilangit yang biru …. Benar ! Warna-warna tersebut kalau tersusun dilangit namanya pelangi. Kalau tersusun dalam gambar peta namanya land-use atau peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sedangkan warna dalam sampul Fatwa Planologi menunjukkan peruntukan lahannya.
Lahan di Kota Kita dibedakan dalam beberapa jenis peruntukan seperti perumahan (kuning), industri (coklat), jasa (merah), pariwisata dll termasuk peruntukan shipyard. Lahan shipyard menurut kawan saya yang calo tanah, merupakan lahan yang primadona dalam bisnis mereka. Banyak investor berebut untuk mendapatkannya. Karenanya Kota Kita sekarang ini telah menjadi produsen kapal / tongkang terbesar. Hal ini menunjukan arah pembangunan telah sejalan dengan sebutan Batam sebagai Daerah Industri Pulau Batam bukan Daerah Ruko Pulau Batam.
Namun dibalik cerita hebat tersebut, ada peristiwa yang membuat muka saya merah. Merah bukan karena marah tetapi malu karena tidak bisa menjawab. Belum lama ini saya mendapat pertanyaan dari investor yang juga clien baik saya. Pertanyaannya adalah mengapa dalam site plan shipyard tidak boleh ada dermaga? Apakah memang dari dulu peraturannya demikian?. Tolong mintakan peraturannya! Coba logikanya bagaimana, apakah shipyard bisa beroperasi tanpa ada dermaga?
Salahkah investor menanyakan demikian? Tidak. Karena pada saat akan membangun shipyard, investor mau tidak mau akan membuat dermaga supaya kapal (ship) dapat bersandar dengan baik. Kondisi ini akan menyudutkan investor melakukan pelanggaran. Pelanggaranya berupa membangun suatu fasilitas (dermaga) dengan status liar. Lho kok? Lha iya karena fasilitas tersebut tidak tercantum dalam Fatwa Planologi.
Dermaga menurut kamus adalah tembok ditepi laut untuk pangkalan, dalam bahasa bule tertulis dock. Pengertian dermaga
berbeda jauh dengan apa yang dimaksud Bandar / Pelabuhan (seaport). Dermaga memang selalu ada pada setiap Bandar, namun demikian apakah setiap dermaga berfungsi Bandar?.
Kalau kemudian ada kekawatiran dermaga berubah menjadi pelabuhan, itu adalah suatu kasus. Peristiwa ini sifatnya kasuistik yang tidak bisa dijadikan dasar untuk menggeneralisasikan penerapan peraturan berikutnya. Penghapusan dermaga dalam gambar site plan shipyard, tak ubahnya seperti tidak dibolehkanya ada parkir di ruko karena kuatir timbul kios liar. Kebijakan yang demikian bisa disebut seleratif bila tidak ada aturan yang mendasarinya.
Kebijakan tertentu bisa saja dikeluarkan namun demikian perspektifnya adalah untuk kepentingan bersama dan mengindahkan rasa berkeadilan. Melibatkan masyarakat (pemohon) dalam rapat koordinasi akan menjembatani kesan adanya penerapan peraturan yang sepihak.
Lain lagi, bila aturan-aturan teknis telah ada, mengapa tidak disampaikan secara terbuka kepada masyarakat? Banyak Gambar Fatwa Planologi ditolak karena permasalahan ini, yang akibatnya waktu menjadi molor. Jadi molornya permohonan Fatwa Planologi bukan karena persyaratan-persyaratan teknis yang tidak lengkap. Bedakan antara aturan-aturan teknis (aturan-aturan yang harus dituangkan dalam gambar) dengan persyaratan-persyaratan teknis (gambar-gambar, table dll).
Kemudian bila aturan-aturan Fatwa Planologi tidak sesuai dengan RTRW, kira kira masyarakat harus memakai yang mana?
Dari pada ruwet, untuk kedepan diharapkan ada aturan-aturan yang jelas dan transparan. Membuat peraturan baru supaya sejalan dengan zamannya adalah sah-sah saja bila dilakukan untuk kepentingan yang lebih baik. Pada era Kawasan Ekonomi Khusus saat ini adalah waktu yang tepat melakukannya. …Pelangi pelangi ciptaan Tuhan adalah fatwa yang tak pernah berubah
No comments:
Post a Comment
bebas berkomentar, berkomentar bebas ....