Kolom ‘Kota Kita’ semakin menarik untuk dibaca
Membaca Artikel yang dimuat di kolom KOTA KITA, khususnya dua edisi terakhir, saya tiba-tiba saja teringat, “ … oh help me please _ is there some one who can make me wake up from this dream … “ (spending my time, roxette), alunan lagu yang terdengar mendayu. Yang barangkali adalah ungkapan hati penciptanya yang sedang jatuh cinta dan merana.
Dalam suasana hati prihatin, buat saya itu lebih terdengar seperti dinyanyikan oleh negeri kita tercinta
Saya jadi bertanya-tanya bukankah membangun tanpa perencanaan yang baik berarti sebaliknya? Dan sebagai arsitek terhadap diri sendiri juga bertanya-tanya;
- Bukankah, suatu produk desain seharusnyalah memuat criteria structural, funsional dan estetika?
- Bukankah, suatu lingkungan bentukan yang terbangun mengikuti arahan desain meliputi elemen civitas, aktivitas dan fasilitas?
- bukankah, berprosesnya suatu lingkungan bentukan, dalam dimensi waktu menuntut bekerjanya fungsi perencanaan, fungsi pelaksanaan dan fungsi control?
- bukankah, pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya masing-masing mempunyai standard kompetensi?
Bukankah memang harus demikian adanya supaya tersusun konsep pembangunan lingkungan bentukan tersebut yang holistis integralistis? Tetapi bagaimana mau membangun dan terkonsep dengan baik, kalau esensi bahwa pembangunan berawal dari fakta adanya kesalahan dan kekurangan sebagai tuntutan pemenuhan kebutuhan, tidak sungguh-sungguh kita akui dan sadari?
Bukankah memang di antara kita masih banyak yang belum mengedepankan kompetensi, berada tidak tepat atas waktu dan posisi, belum siap dengan transparansi dan sering merasa benar sendiri? Ya maaf, ini saya sampaikan karena bagaimana bisa berdiskusi mencari solusi, kalau ada yang mengkritisi malah emosi?
Nah terkait tema green architecture yang yang lagi hangat di kolom Kota Kita (walaupun sudah jadi issue global semenjak doeloe … sekali), menurut saya harus diaplikasikan sebagaimana supremasi hukum harus ditegakkan, bukan tigaperempatnya atau sepersepuluhnya. Pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan adalah untuk kepentingan semua, dan ini bagian dari kebutuhan yang sangat mendesak, tidak sadarkah kita bahwa sudah begitu banyak kerusakan alam, ketidakseimbangan ekosistem, pemanasan global, pencemaran dan bencana serta korban yang ditimbulkan?
Please deh, ini
Taruh kata, sudah terkonsep dengan baik, dan teraplikasi dengan baik, itupun pada gilirannya masih akan terjadi distorsi dan pergeseran-pergeseran konstanta peubah-peubah suatu lingkungan bentukan. Artinya, bukankah ini menjelaskan bahwa untuk itulah diperlukan adanya evaluasi, revisi, diskusi atau apalah itu, untuk mencari mana yang salah dan kurang dan untuk menetapkan solusi (problem seeking & solving)? Kecuali kita adalah penggemar status quo, yang tentunya argumentasi adalah pembenaran dan bukan kebenaran. Makanya kondusif itu yang mestinya adalah kebenaran bisa jadi adalah pembenaran makanya disebut kedok.
Kita juga tahu begitu banyak program-program pembangunan yang baik, termasuk salah satunya adalah pemutihan IMB (bukan pemutihan SBPMB), akan tetapi kalau sungguh mau mendukung atau turut berpartisipasi, pada tataran teknis harus dilakukan dengan cara yang benar. Kiranya perlu dengan sungguh-sungguh dijalankan fungsi perencanaan, fungsi pelaksanaan dan fungsi control. Supaya terwujud kaidah keadilan/fair, transparansi, akuntable dan sebagainya sebagaimana standard pelayanan public yang memang telah ditetapkan. Karena bisa jadi kenaifan kita justru mblondrokke atau menjerumuskan pihak-pihak yang berkepentingan.
Seperti analisa sederhana dari seorang kawan, bahwa misalnya ada 100.000 unit rumah dan masing-masing melanggar KDB 10 meter persegi saja, maka sudah 1.000.000 meter persegi lahan terbuka yang beralih fungsi. Barang kali ini menjadi kontribusi yang cukup besar terhadap terjadinya banjir, misalnya. Belum lagi kalau ground cover yang berupa perkerasanpun turut dihitung. Maaf, menurut saya ini lebih esensial ketimbang alasan peningkatan PAD.
Itulah barangkali, mengapa para pendahulu kita membuat standard kompetensi, bahkan saat ini di kampus-kampus dan di sekolah-sekolah pun diterapkan kurikulum berbasis kompetensi. Artinya, jelas sekali efeknya, apa hasilnya kalo program-program pembangunan yang baik itu dilaksanakan oleh kita-kita yang tidak berkompeten.
Whalllah …, maaf kalau kebanyakan pertanyaan. Harapannya akan semakin banyak yang menulis di kolom Kota Kita, biar bertanya-tanyanya berganti tema.
Terima kasih Batam Pos yang sudah menyisakan sedikit ruang buat kita-kita yang doyan berekspresi, menjadi media untuk belajar bersama saling mengisi, mengkritisi dalam suasana demokrasi. Tetap saling menghargai dan bukan caci maki.
Minimal dari tulisan-tulisan itu dapatlah diketahui wacana Kota Kita kah atau emosi kah yang terekspresi. Sah-sah saja toh? Bagaimana jadinya ya kalau menulispun sambil emosi? Yang Pasti kolom Kota Kita menjadi semakin menarik untuk dibaca.
Apalagi sambil mendengar senandung, “ … oh help me please _ is there some one who can make me wake up from this dream _ spending my time _ watching the days goes by _ I’m feel’s so small I stared at the wall _ hoping that you are missing me to … “ Semoga kolom Kota Kita Batam Pos bisa menjadi inspirasi tema kita-kita untuk refleksi.
No comments:
Post a Comment
bebas berkomentar, berkomentar bebas ....