March 18, 2008

BANGKU KOSONG

Pelayanan satu atap, kapan menjadi satu pintu.

Membaca Artikel yang dimuat di kolom KOTA KITA, saya tiba-tiba saja teringat satu cerita tentang bangku kosong di dalam kelas di suatu sekolah. Konon katanya murid yang duduk di bangku itu mati karena nenggak racun serangga, mudah ditebak, berikutnya murid yang lain ndak satupun berani duduk di bangku itu. Keenganan atau kalau ndak mau dibilang ketakutan ini berlangsung hingga beberapa tahun berikutnya, bahkan pihak sekolah pun ndak juga memindahkan atau menggantinya, maka jadilah bangku yang angker.

Saya bertanya-tanya apa analogi ini kiranya bisa sedikit mengilustrasikan keenganan masyarakat mengurus perijinan. Lha bagaimana ndak, mari kita coba jalan-jalan ke meja-meja pejabat terkait perijinan. Yang pertama kita rasakan jauuuuh, ya iya laaah, jauh dari PPT. Berikutnya, kok banyak betul ya mejanya. Belum lagi sulitnya memahami makna bahasa yang digunakan, ya bahasa verbal ya bahasa tubuh. Yang ini sulit ditebak, orang lagi marah, lagi senang, lagi ada maunya atau apa, walaupun tidak jarang ada yang memang begitu mudah dipahami, terus terang apa maunya(halah).

Ndak percaya? Contoh ya, coba apa artinya ciak kopi, tolonglah dibantu, aman boss?, mau lebaran neeh, dan sebagainya. Sulit dipahami, bukan kemudahan, bukan kecepatan dan bukan pula kemurahan yang dijumpai, padahal iklim kondusif yang kita perlukan. Jadi kiranya mudah dipahami bangku di depan meja-meja itu menjadikan orang enggan untuk duduk. Jadi ya jangan terlalu cepat kita nilai negatif atas kengganan masyarakat mengurus perijinan, lha wong ini bentukan situasi, yang penting ada kesadaran bahwa ini adalah tanggung jawab kita bersama.

Ada gagasan menarik yang bisa diambil dari cerita bangku kosong di atas, di mana suatu hari akhirnya bangku kosong di kelas itu diambil dan dibiarkan tanpa bangku. Usul aja neeh, bagaimana kalau bangku-bangku yang ada di depan meja-meja terkait dengan perijinan di singkirkan saja, dipindah di depan loket PPT. Artinya biar perijinan bisa dituntaskan di satu loket atau satu pintu/meja di PPT, semaksimal mungkin untuk menghindari tatap muka langsung dengan pejabat terkait. Toh perijinan semua di proses dari awal secara tertulis, ya mestinya bisa diselesaikan dengan fair secara tertulis. Jadi ruang konsultasi di PPT pun berfungsi sebagaimana mestinya.

Saya kembali bertanya-tanya, bagaimana ya seandainya tetap terjadi tatap muka langsung, walaupun sudah ndak ada bangku, kan masih bisa sambil berdiri. Tetapi sepertinya lebih menjajikan kalau ketemuan di luar kantor (halah), apalagi sambil ngopi gitu lho.

Harapan saya seh suatu hari PPT bukan hanya pelayanan satu atap tapi juga satu pintu, dan biarlah masyarakat ndak keluar masuk banyak pintu, ndak dari meja ke meja, ndak dari bangku (yang angker) ke bangku (yang semakin angker) lainnya, yang setiap kali beranjak dari bangkunya kantong dibautnya kosong.

Lho ini cerita tentang bangku kosong apa tentang kantong kosong, yo embuh, nggak saya pikirin lagi lha wong itu saja kayaknya ndak ada hubungannya, lagian saya kembali asyik bertanya-tanya.

Kenapa ya ndak disediakan saja ruang pers di PPT, yang bisa menjadi kontrol yang efektif? Ya paling ndak sediakan lah tempat nongkrong yang nyaman buat kawan-kawan wartawan. Sepertinya kalo bangku kosong diisi pers, ndak lagi menjadi bangku yang angker, tapi bisa-bisa wartawannya yang menjadi lebih angker … menakutkan ya? Ya iya laaaah, takut masuk koran gito loh (halah). Eee, jangan salah, bisa jadi yang lebih angker bukan wartawannya tapi bangku di belakang meja, ya tentunya kalo keseringan dibiarkan kosong, siapa yang ndak enggan, siapa berani?

Ign. lagi BT (bertanya-tanya).

No comments:

Post a Comment

bebas berkomentar, berkomentar bebas ....